Tuesday, July 08, 2014

Cancer

Aku pikir sakit yang satu ini berbeda dengan sakit biasanya.
Seperti anak berusia 5 tahun yang sering dipukul oleh ayahnya.
Sama-sama merasakan sakit tetapi ada dua jenis akibat dari rasa sakit itu.
Hipotesis pertama, si anak akan berontak dan membela dirinya sendiri dan semakin lama pukulan dari ayahnya tidak lagi terasa sakit.
Sudah terbiasa.
Hipotesis kedua, si anak menjadi takut kepada ayahnya dan memiliki rasa trauma terhadap laki-laki dan kekerasan.
Sakitku ini sakit tipe hipotesis ke dua.
Semakin ditempa semakin hancur, semakin sakit, semakin rapuh.
Mendengar namanya saja aku merasakan rongga di ulu hatiku penuh dengan virus.
Menyebar cepat, menggerogoti ruang ruang disekitarnya.
Sakitku ini membuatku sakit.
Jiwaku terganggu, rasionalku hilang.
Semakin mendengar namanya semakin sakit.
Hatiku berkali-kali meledak tetapi tidak hancur hancur juga.
Kadang aku merasa sudah hancurkan saja, selagi berdarah-darah aku bisa menikmati sakitku, bukannya menunggu waspada kapan hatiku akan meledak.
Telepon genggamnya berdering.
Nama itu.
Jantungku berdegup sangat kencang.
Otakku bekerja sekeras mungkin dalam sepersekian detik.
Aku ingin mengambil telepon genggam itu dan merendamnya dalam bak mandi, mungkin.
Atau aku harus menghancurkan telepon genggam itu?
Sia-sia.
Menekan tombol merah di telepon genggam itu? Kekanak-kanakkan.
Menjawab panggilan itu? Naif.
Semua rencana rencana itu terlintas di pikiranku selama kurang dari 3 dering
Telepon itu berbunyi.
Masih ragu-ragu.
Kuangkat telepon genggam itu dan kuletakkan didada pria yang tertidur disebelahku.
Berharap dia akan terbangun dan menjawabnya, mendengar apa yang mereka perbincangkan.
Didepan mataku, didepan wajahku, didepan diriku yang duduk membatu tak mampu menahan gejolak emosi.
Aku menunggu dia terganggu suara berisik dan getaran yang berasal dari telepon genggam itu.
Waktu melambat, sangat lambat.
Belum ada tanda-tanda pria itu akan terbangun.
Aku membencinya, sungguh.
Ingin rasanya kuhancurkan telepon genggam itu ke wajahnya, menghancurkan wajah rupawannya dan mengutukku seumur hidupnya.
Aku tidak peduli pria yang tidak peduli padaku.
Belum juga ada tanda-tanda dia terbangun, aku menyentuh tangannya dan sedikit mengguncang tubuhnya.
Wajahnya marah, terganggu guncanganku, dan terganggu telepon genggam yang menjerit-jerit di dadanya. Dia terbangun sejenak, dan melemparkan telepon genggam itu dengan tangan kirinya.
Deringnya berhenti.
Perasaanku bercampur aduk.
Aku kecewa, kecewa tidak bisa mendengar apa yang mereka perbincangkan.
Aku kecewa dia memilih tidurnya dibandingkan mengangkat panggilan itu.
Aku kecewa tidak lagi menemukan alasan untuk membenci pria itu.
Meskipun aku sudah membencinya sejak awal telepon genggam itu berdering.
Aku membenci pria itu karena tidak mampu melawan penelpon jahanam yang menusuk-nusuk seluruh tubuhku di setiap deringnya.
Lagi dan lagi.