Thursday, January 17, 2013

Satu Minggu Setelah 11 Januari


11 Januari saat itu, umurku tiga tahun kalau tidak salah mengingat.
Masih ada di foto album lamaku.
Aku, Mas Rory, Mama, Papa, Uti, dan Mbak Anik.
Acara ulang tahun yang menyenangkan, aku mendapatkan handphone mainan.
Aku menggerutu kesal karena bukan handphone sungguhan.
Bibirku manyun karena handphone itu hanya berbunyi “Abracan”
Ya sudahlah, Bella tiga tahun, berhenti menggerutu ketika mainan lama mampu mengalihkan.

11 Januari saat itu, umurku tujuh tahun kalau tidak salah mengingat.
Acara tiup lilin lagi yang sangat kusuka.
Tart, lilin, snack, minuman ringan, Mas Rory, Mama, dan Papa.
Acara ulang tahun yang masih menyenangkan, aku mendapatkan satu set lengkap spidol warna.
Ada sedikit ucapan ulang tahun dari papa dan mama yang tidak mampu kuingat.
Yang aku ingat saat itu adalah, aku menghadap tembok sambil membaca kartu ucapan dan aku menangis.
Entah apa yang kutangisi pada hari bahagiaku itu, tapi aku menangis.
Mungkin karena kartu ucapan dari Mama Papa yang sangat kucinta.

11 Januari saat itu, umurku entah berapa aku tidak bisa mengingat.
Sudah tidak ada lagi acara tiup lilin yang kusuka.
Menggerutu lagi lah aku dibuatnya.
Kuhias kamarku sendiri dengan guntingan kertas krep dan balon berbagai warna.
Kuundang teman-temanku datang kerumah untuk sekedar bercanda.
Mama Papa hanya menggeleng-geleng kepala.
Banyak makanan dan snack hiburan tiba-tiba.
Mungkin Mama Papa masih belum membiarkan ulang tahunku biasa saja.

11 Januari saat itu, umurku tujuh belas tahun dan aku beranjak dewasa.
Pulang dari mengantar Mama ke pasar, kuluangkan waktuku dikamar membaca-baca.
Seperti biasa, makan siang sudah waktunya.
Papa Mama memanggilku untuk bergabung dimeja.
Saat itu sudah terhidang nasi kuning lezat buatan Mama.
Juga roti blackforest yang kusuka berhiaskan lilin dengan angka satu dan tujuh dengan api menyala.
Hanya kami bertiga. Aku, Mama, dan Papa.
Perayaan tujuh belas tahun yang sederhana menyambut umurku yang menginjak usia dewasa.

11 Januari saat itu, ketika umurku delapan belas, sembilan belas, dan dua puluh.
Aku jauh dari keluarga.
Kutuntut ilmu agar mampu membalas kue tart dan nasi kuning buatan Mama.
Belum juga bisa.
Ucapan ulang tahun tidak pernah terlupa diucapkan meskipun hanya mendengar suara.
Tapi suara mereka tidak mampu membuatku menahan rindu yang ada.
Hanya menahan suara getar dan menangis perlahan akan lantunan doa.

18 Januari saat ini, aku bisa apa?
Aku sudah berbuat apa?
Aku memberi mereka apa?
Hari ini hari ulang tahun papa.
Bahkan aku tidak ingat pernah memberikan kado dalam bentuk apa.
Hari ini pun aku jauh dari Papa.
Sekedar peluk dan cium di pipi kanan kiri saja aku tidak bisa.

Padahal Papa yang membungkuk membantuku menyeimbangkan sepeda roda duaku saat aku kecil dahulu.
Padahal Papa yang membuatku bercita-cita menggunakan toga di Universitas Gadjah Mada
Padahal Papa yang melatihku mengendarai sepeda motor dan memarahiku ketika gas kuputar berlebihan menunjukkan angka 60 di layar sepeda motor baruku.
Padahal Papa yang membangkitkan semangatku kembali ketika traumaku mengendarai mobil dan pernah menabrakkannya.
Padahal Papa yang selalu mengomeliku ketika kutinggalkan ibadah.
Padahal Papa yang mengantarkanku ke Jogja, menyambut cita-cita dengan tenaga dan waktu yang rela dikorbankannya.
Padahal Papa yang mendorongku memasukkan beasiswa yang menerbangkanku ke negeri sakura.
Padahal Papa yang tetap berkata iya ketika aku terus meminta uang saku yang tak cukup-cukup juga. Meskipun aku tahu berkerutlah keningnya ketika aku meminta.

Satu hal yang masih pekat dalam ingatanku adalah ketika pertama kali Papa dan Mama akan meninggalkanku sendiri tinggal di Jogja. Tepat sebelum Papa keluar dari kamar kost 4x4ku, Papa memelukku dan memberi wejangan dengan nada suara bergetar. Aku meminta maaf pada Papa karena selama aku tinggal dirumah dengannya aku selalu bandel dan menyusahkannya.
Bahkan pada saat itu Papa masih mampu berkata “Adik nggak perlu minta maaf. Papa bangga.”

Maaf Pa, Adik belum sepenuhnya bisa membuat Papa bangga.

Selamat Ulang Tahun yang ke-51, Papa.
Terimakasih telah menjadi Papa yang sangat luar biasa.
Terimakasih.
Papa laki-laki terhebat yang pernah ada.


Sun Jauh, Adik.