Tuesday, July 26, 2016

Agama Fana

Kamu bisa saja mengatakan bahwa aku tidak beragama, karena aku pendosa.
Aku berdosa, karena aku tidak bisa menjaga mata.
Aku tidak bisa menjaga mata untuk melihat apa yang kamu tidak lihat.
Tapi percayalah, sayang.
Percayalah bahwa aku percaya manusia bisa bersalah, menyesal, namun kembali berulah.

Kamu bisa saja mengatakan bahwa aku tidak beragama, karena aku pendosa.
Aku berdosa, karena aku tidak mampu menjaga bicara.
Terlalu banyak telinga-telinga yang pedih mendengar tentang fakta.
Tapi sungguh, percayalah, sayang.
Percayalah bahwa aku percaya jiwa yang utuh akan terbentuk dari hati-hati yang terluka.

Kamu bisa saja mengatakan bahwa aku tidak beragama, karena aku pendosa.
Aku berdosa, karena aku tidak bisa menahan dengar mereka berbicara.
Lenguhan wanitamu yang memekakkan telinga, hadir disela-sela tawa yang kupikir itu nyata.
Tapi cobalah untuk percaya, sayang.
Percayalah bahwa aku percaya suara-suara kecil itu terdengar samar meremukkan raga.

Kamu bisa saja mengatakan bahwa aku tidak beragama, karena aku pendosa.
Aku berdosa, karena aku tidak bisa menahan sentuhan pria.
Pria yang melemahkan aku di setiap tatapan matanya, menawarkan bahagia.
Tapi aku mau kamu percaya, sayang.
Percayalah bahwa aku percaya disetiap inchi sentuhan darimu meregangkan mimpi bersama dimasa tua.

Tapi aku merasa bahwa aku beragama.
Aku beragama karena aku percaya.
Percaya pada hal-hal yang tidak mampu tertangkap oleh panca indera, namun aku cukup yakin bahwa hal itu terasa nyata, ada, hadir, dan membuatku aman terbelenggu rasa iman.

Namun bagaimana rasanya, apabila kamu mengetahui bahwa otak manusia terlalu sempurna untuk melakukan adaptasi?
Proses penerimaan dari memori yang berubah menjadi sugesti.
Tanpa pernah menemukan suatu hal yang menjadi bukti.

Mungkin kamu menjadi agama yang paling kubenci.
Meskipun keyakinan imanku masih terasa hakiki.