Wednesday, October 16, 2013

Mesin Waktu Itu Ada

Halo gadis manis, apa kabarmu?

Apakah kamu masih menangisi malam-malam sendirimu? Apakah kamu masih membenci rambut ikalmu? Apakah kamu masih pendiam dengan orang-orang baru? Apakah kamu masih tersenyum dengan orang-orang disebelahmu? Apakah kamu masih suka menari diwaktu senggangmu?

Satu-satunya orang yang mengenalmu lebih baik darimu adalah aku. Karena aku kamu. Kamu aku.
Aku dari masa depanmu, dengan rambut lebih mengikal dan mampu bercerita hal-hal seru dengan orang baru.
Aku disini untuk memberi tahumu tentang cita-citamu.
Bahwa nantinya semua berjalan lebih baik dari mimpimu dulu. Bahwa nantinya kamu tumbuh dan berkembang menjadi perempuan, dewasa, mandiri, dan tak lagi malu-malu.
Bahwa nantinya kamu nantinya bukan lagi hanya cerdas, mendapatkan nilai baik disetiap ujian, tapi kamu juga mampu melucu.
Bahwa nantinya kamu dikelilingi oleh orang-orang yang mencintaimu dan selalu ada untukmu.
Bahwa nantinya kamu akan sangat bersyukur telah tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang benar-benar baru.

Mungkin sulit adanya kamu akan percaya padaku. Untuk saat ini.
Maka dari itu aku ingin menulis surat ini untukmu.
Aku bukannya memaksa agar kamu nantinya percaya padaku.
Tapi aku mau kamu percaya dengan dirimu.
Karena aku kamu. Kamu aku. Satu lagi, sebenarnya kamu tidak terlalu pandai melucu.

Nantinya,
Kamu akan jatuh cinta. Luar biasa indahnya. Dengan laki-laki biasa saja. Dan kamu terluka. Berbahaya, karena mungkin untuk bernafas saja hampir tak bisa.
Tapi kamu adalah perempuan luar biasa. Berdiri tegak dengan bekas luka didada. Dan kamu tidak lagi takut untuk kembali bercinta.
Dan dari setiap kamu lewati satu persatu pria. Kamu belajar untuk bercinta dan dicinta.

Nantinya,
Kamu akan bersedih dan gundah gulana. Bersedih luar biasa. Dimana yang kamu lakukan hanya bisa berlutut dan berdoa. Memohon untuk menguatkan lapisan-lapisan baja didada. Lantas, kamu akan baik-baik saja. Melewatinya dengan bersahaja.
Bukan.
Bukan berarti kamu bahagia tiba-tiba. Tapi kamu belajar bahagia dan kamu bisa.

Nantinya,
Kamu akan mengalami masa terburuk yang pernah ada. Dimana kamu hanya bisa menghamburkan uang dan berpesta. Berlari-lari tanpa tujuan yang ada. Sampai pada akhirnya kamu bertemu dengan mereka. Orang-orang yang menganggapmu dewi dari surga. Mencintaimu dan menganggapmu ada.
Mereka adalah yang orang lain kata belahan jiwa.
Dan kamu akan menjadi orang yang sangat bersyukur dan berbahagia.

Nantinya,
Kamu akan berkaca dan berkata bahwa kamu tidak cantik dan sempurna. Tapi itu sebenarnya adalah keraguan dari dalam hati dan kepala. Lagi lagi kamu akan belajar bercinta. Menerima diri dan mencintai diri sebagai sosok sempurnanya wanita. Kamu tahu bahwa kecantikanmu itu benar adanya. Cantikmu ada. Kamu, bukan dia, dia, atau mereka.
Kamu akan menemukan satu cinta. Dan kamu akan mencintai dengan rambut ikal bergelombang yang nantinya kau suka.

Nantinya,
Kamu akan merasa hilang arah, tidak lagi tahu mau kemana. Tenang, tidak apa-apa. Kamu akan belajar berbicara, bercinta, tertawa, dan bahagia. Yang harus kamu ingat ketika tidak ada lagi arah adalah berterimakasih atas perjalanan dan pengalaman yang telah ada. Dengarkan bisikan hati yang mungkin terlupa. Lakukan apa yang membuatmu bahagia.
Lakukan semua yang kamu bisa.
Aku tahu apa yang kamu bisa.
Tertawa. Bercinta. Tersenyum bahagia. Memeluk teman-teman lama. Mencoba hal-hal tidak terduga. Membuat salah dan keras kepala. Menulis apa adanya. Menari didepan kaca.

Kamu mau tahu? Bahwa aku bangga.
Bangga kamu tumbuh menjadi aku adanya.

Terimakasih, sudah menjadi gadis manis kesayangan papa.
Dan kamu akan selalu dicinta.
Olehku. Papa dan Mama. Kakak tampan nan bersahaja. Teman-teman tertawa dan laki-laki luar biasa.


Inspired by Talk To You 10 year Old Self by Soulpancake.

Tuesday, October 15, 2013

Remah-Remah Marah

Yogyakarta, 29 September 2013.
Saat itu.

Selamat malam,
Aku tahu kalau kamu tahu bahwa aku bosan.
Aku tahu kalau kamu juga bosan.
Terkungkung ruang pengap 5x5 dan melakukan hal yang itu-itu saja.
Kuputuskan saja untuk keluar, hirup udara lembab malam yang segar.
Namun sebelumnya aku menggerutu gusar.
Aku takut kamu menolak keluar dari hidup yang hambar.
Tapi aku sudah sediakan payung sebelum hujan.
Aku sudah sediakan teman baru untuk bertukar pikiran.
Benar. Berhasil.

Malam tiga puluh September.
Aku, kamu, dan teman barumu.
Bercerita bahagia, bercanda manja.
Kursi dan meja kayu hangatkan dingin kepala.
Juga beberapa bebakaran yang mengisi rongga.
Tidak lama.
Tertawanya tidak lama, teman barumu punya acara.
Tinggal kita berdua.
Habiskan malam yang sudah tanggung untuk ditinggalkan merana.
Satu lagi, cerita-cerita layaknya kita sudah dewasa.
Sadarkan diri bahwa kita sudah cukup lama berkembang bersama.
Banyak hal yang berbeda.
Aku, kamu, sudah tak lagi sama.
Mengubur dosa lama dan menanam bibit baru bersahaja.
Aku suka.
Sekali lagi aku sadar bahwa kita memang benar-benar masih bersama.
Satu cita-cita yang sama dari dua kepala yang sama kerasnya.

Cerita, bahagia, nostalgia.

Nostalgia? Iya.
Hatiku masih menyimpan amarah salah.
Tidak memaafkan ketika selalu dimaafkan.
Semua bisikan bergejolak marah.
Sudah seharusnya aku marah.
Sudah seharusnya aku menjadikannya remah-remah.
Bertarung dengan diriku sendiri.
Diam, sunyi.
Melirikku berhati-hati.
Mungkin takut akan semakin menyakiti.
Aku merasa tidak bersalah masih menyimpan amarah.
Tapi kamu menganggapku salah saat masih ada didihan darah.
Semakin salah.
Semakin marah.
Tangisku pecah.
Kamu lelah.
Aku pasrah.

Sayang,
Mungkin kamu lupa tersadar.
Atau mungkin kamu lupa bersabar.
Atau mungkin memang aku yang kurang ajar.
Atau memang aku yang tidak pernah belajar.

Sayang,
Aku selalu bilang bahwa kamu seperti rumah. Tempat kembali saat tulang-tulang ini mengeluh lelah. Tapi aku selalu lupa bahwa kamu berkah. Dan kamu selalu lupa selalu ada hikmah. Ego-ego yang sudah lama tidak diasah. Membuat kita tidak lagi ingat akan ramah tamah.

Sayang,
Ketika selesai sudah kutulis suratku, aku tidak akan berjanji bahwa tangisku tidak akan pecah. Mungkin saja emosi-emosiku masih bertingkah. Kutata hatiku sudah. Meskipun terkadang masih seperti bedebah.
Mungkin, karena aku masih menyimpan remah-remah marah.
Dan aku belum juga menemukan tempat sampah.

Untuk yang tercinta,
Feisal Lofinanda.
Teman, Sahabat, Kekasih, Pendamping, Kakak, Adik, dan Ayah.
Kamu masih menjadi Rumah.



Kalau Aku Pernah Lupa Mengucapkannya.

Terimakasih,
Untuk pernah memaafkan ketika ada kesalahan yang tidak termaafkan.
Untuk menerima ketika sebagian orang tidak mampu menerima.
Untuk bertahan ketika kesempatan pergi terulang beberapa kali.
Untuk memeluk saat kaki tak mampu berdiri.
Untuk melindungi karena tak tahan dengan panas matahari.
Untuk menunggu saat bersolekku ingin kesankanmu.
Untuk menyapu kamarku karena gerah dengan helaian-helain rambut jatuhku.
Untuk menjadi satu, denganku. Bersamaku.

Terimakasih.
Klise. Terimakasih untuk waktumu, cintamu, kasih sayangmu. Blah!
Bukan, bukan itu maksudku. Terimakasihku bukan palsu.
Iya memang, dulu terimakasihku hanya untuk abang-abang lambe*
Kali ini sudah ganti. Terimakasih yang dari hati.
Kenapa?
Kenapa berganti?
Karena aku pernah jatuh. Karena aku sedang jatuh. Bukan, bukan jatuh hati. Kali ini jatuh berlutut di kaki.

Do you know what it feels like to be helped when you're down?
Right.
Berterimakasih.

Meskipun bantuanmu tidak cukup membantu. Tapi aku tahu, terlihat dari kerutan didahimu. Pikiranmu, kamu berusaha ingin membantu.
Aku tidak pernah menyadari akan dalamnya kata terimakasih itu sendiri.
Hingga pada saatnya aku sadari, saat ini. Meskipun terjatuh dari sedikit berlari. Itu kamu, ada kamu. Berdiri menertawai kebodohanku.
Terimakasih.
Aku terhibur dengan kedunguanku.
Aku terhibur dengan tawa renyah itu.
Bahkan suara itu terdengar di sela-sela tidurku.
Lambat tapi pasti, bukan hanya aku ternyata. Tapi kamu memang layak untuk dicintai.
Blah?
Tidak, aku serius. Lihat! mataku tidak melirik ke arah kiri kan?
Lihat! Hidungku tidak kembang kempis kan?
Lihat! Aku tahu kamu tahu ketika aku benar atau tidak.
Terimakasih.
Terimakasih untuk sudah mengenaliku.
Seperti kamu mengenal ibumu.
Seperti kamu mengenal nada miring di gitarmu.

Maaf, mungkin kamu rindu sudah dengan sajak basiku.
Haha, tapi terimakasih.
Sudah giat membaca sajak tak aturanku.
Maaf, mungkin kamu menunggu aku lagi-lagi memujamu.
Haha, tapi terimakasih.
Kamu tetap kamu meskipun tanpa kurayu.

Kamu tahu?
Benar adanya katamu.
Mungkin memang belum yang terbaik. Tapi kamu hanya ada satu.
Dan aku mau kamu yang satu.
Tak perlu mengganti dengan yang baru.
Karena aku kamu. Kamu aku.

Terimakasih.



Tulis Kembang Kempis

Asap-asap mulai menipis seiring dengan rambutku yang juga mulai menipis.
Habiskan sedikit sisa uang sakuku untuk merawat tubuhku yang sudah kembang kempis.
Bermodal rasa iri akan molek cantik para artis.
Berasap sudah isi kepalaku, pekat, gelap, seperti asap kenalpot bis.
Virus menggorogoti hati ini mana bisa sudah kutepis?
Habis.

Satu waktu, dimana sakit aku, perih dan sendu tak bisa bertangis.
Menarik kedua sudut bibir, bukan, bukan tersenyum, tapi meringis.
Tidak lagi pedulikan gigi-gigi berantakan tak terawat dan gigis.
Tertawakan hidup, bukan hanya tak lagi adil, namun sudah bengis.
Lembaran alat tukar yang sudah tak cukup, tak mampu membawaku pulang karena tak punya karcis.
Satu persatu lapisan hati sudah habis, terkikis.

Gegap mata, kaku tanganku, tam bisa sudah untuk melukis.
Meskipun sudah banyak kutenggak teh hangat juga kopi panas bersama dengan pukis manis.
Gelap sudah, rabun mataku, tak mampu mendukungku untuk bisa menulis.
Diam, diam, diam, dan diam membuatku mungkin sebentar lagi berkumis.
Diam, diam, diam, dan diam sembari menyisir rambut kusutku hingga klimis.
Diam, diam, diam, dan diam. Masam, manis hidup. Layaknya kismis.

Satu masa, dimana aku sudah tak mampu lagi berlaku etis.
Satu lagi, dimana sajak-sajak lamaku berantakan, sudah tak mau lagi berbaris.
Berjalan, bertahan. Iya, meskipun teriris.
Berjalan, bertahan. Iya, aku tahu mengeras sudah betis.
Berjalan, bertahan. Iya, aku tahu meskipun kuatku tak lagi berlapis.


Aku mau, seperti yang dulu. Bukan, bukan masalah itu. Kamu tahu? Membosankan menjadi diriku. Bertuan tapi berbatu. Himbauan alam berderu. Aku tak mau tahu.

Berlutut, semoga bertahan. Paling tidak sampai hari kamis. Sampai mataku bisa menangis.

Tuesday, July 30, 2013

Are We There Yet?

They say you're really not somebody until somebody else loves you
Well I'm here to make somebody, somebody soon.

Aku pikir aku sudah berlebihan
Memberi rasa, merutuk manja
Waktu-waktu yang melambat
Ketika tidak ada pegangan tertambat

Aku... bukan aku
Kamu... tidak lagi satu
Menggumpal hati-hati rapuh
Terpaku meskipun tidak utuh

Angin malam dan candu-candu
Ruang gelap dan nafas deru
Sinar temaram mata itu
Lepaskan ikatan lelah kaku

Pada malam seribu, entah
Pandangi mata curigamu, sampah
Aku tahu kamu tidak tahu, mungkin
Waktu ini aku tidak ragu, ingin

Berkali-kali kamu kata kita satu
Senyumku tanpa balas ujarmu
Cukup
Atau mungkin belum cukup

Aku ragu-ragu
Tentang aku dan rasa malu
Tentang kamu dan pandangan sayu
Aku belum mampu tahu

Satu lagi
Seringkali aku meringis gigi
Aku suka lagi
Remah-remah tanpa tapi

Aku. Kamu.
Masih kosong
Aku. Kamu.
Aku yang minta tolong

Bertanya?
Hahaha
Tidak perlu berprasangka
Aku ada

Aku hanya ingin ucapkan rasa
Terimakasih

Pantai,
Matahari,
Lampu-lampu kota,
Perjalanan tidak terduga,
Pengkhianatan,
Kesakitan.

Tidak perlu berprasangka
Aku ada
Dan aku pulang, ditempatmu berada
Segera

P.S I Love You
Feisal Lofinanda

Monday, April 15, 2013

Thursday, January 17, 2013

Satu Minggu Setelah 11 Januari


11 Januari saat itu, umurku tiga tahun kalau tidak salah mengingat.
Masih ada di foto album lamaku.
Aku, Mas Rory, Mama, Papa, Uti, dan Mbak Anik.
Acara ulang tahun yang menyenangkan, aku mendapatkan handphone mainan.
Aku menggerutu kesal karena bukan handphone sungguhan.
Bibirku manyun karena handphone itu hanya berbunyi “Abracan”
Ya sudahlah, Bella tiga tahun, berhenti menggerutu ketika mainan lama mampu mengalihkan.

11 Januari saat itu, umurku tujuh tahun kalau tidak salah mengingat.
Acara tiup lilin lagi yang sangat kusuka.
Tart, lilin, snack, minuman ringan, Mas Rory, Mama, dan Papa.
Acara ulang tahun yang masih menyenangkan, aku mendapatkan satu set lengkap spidol warna.
Ada sedikit ucapan ulang tahun dari papa dan mama yang tidak mampu kuingat.
Yang aku ingat saat itu adalah, aku menghadap tembok sambil membaca kartu ucapan dan aku menangis.
Entah apa yang kutangisi pada hari bahagiaku itu, tapi aku menangis.
Mungkin karena kartu ucapan dari Mama Papa yang sangat kucinta.

11 Januari saat itu, umurku entah berapa aku tidak bisa mengingat.
Sudah tidak ada lagi acara tiup lilin yang kusuka.
Menggerutu lagi lah aku dibuatnya.
Kuhias kamarku sendiri dengan guntingan kertas krep dan balon berbagai warna.
Kuundang teman-temanku datang kerumah untuk sekedar bercanda.
Mama Papa hanya menggeleng-geleng kepala.
Banyak makanan dan snack hiburan tiba-tiba.
Mungkin Mama Papa masih belum membiarkan ulang tahunku biasa saja.

11 Januari saat itu, umurku tujuh belas tahun dan aku beranjak dewasa.
Pulang dari mengantar Mama ke pasar, kuluangkan waktuku dikamar membaca-baca.
Seperti biasa, makan siang sudah waktunya.
Papa Mama memanggilku untuk bergabung dimeja.
Saat itu sudah terhidang nasi kuning lezat buatan Mama.
Juga roti blackforest yang kusuka berhiaskan lilin dengan angka satu dan tujuh dengan api menyala.
Hanya kami bertiga. Aku, Mama, dan Papa.
Perayaan tujuh belas tahun yang sederhana menyambut umurku yang menginjak usia dewasa.

11 Januari saat itu, ketika umurku delapan belas, sembilan belas, dan dua puluh.
Aku jauh dari keluarga.
Kutuntut ilmu agar mampu membalas kue tart dan nasi kuning buatan Mama.
Belum juga bisa.
Ucapan ulang tahun tidak pernah terlupa diucapkan meskipun hanya mendengar suara.
Tapi suara mereka tidak mampu membuatku menahan rindu yang ada.
Hanya menahan suara getar dan menangis perlahan akan lantunan doa.

18 Januari saat ini, aku bisa apa?
Aku sudah berbuat apa?
Aku memberi mereka apa?
Hari ini hari ulang tahun papa.
Bahkan aku tidak ingat pernah memberikan kado dalam bentuk apa.
Hari ini pun aku jauh dari Papa.
Sekedar peluk dan cium di pipi kanan kiri saja aku tidak bisa.

Padahal Papa yang membungkuk membantuku menyeimbangkan sepeda roda duaku saat aku kecil dahulu.
Padahal Papa yang membuatku bercita-cita menggunakan toga di Universitas Gadjah Mada
Padahal Papa yang melatihku mengendarai sepeda motor dan memarahiku ketika gas kuputar berlebihan menunjukkan angka 60 di layar sepeda motor baruku.
Padahal Papa yang membangkitkan semangatku kembali ketika traumaku mengendarai mobil dan pernah menabrakkannya.
Padahal Papa yang selalu mengomeliku ketika kutinggalkan ibadah.
Padahal Papa yang mengantarkanku ke Jogja, menyambut cita-cita dengan tenaga dan waktu yang rela dikorbankannya.
Padahal Papa yang mendorongku memasukkan beasiswa yang menerbangkanku ke negeri sakura.
Padahal Papa yang tetap berkata iya ketika aku terus meminta uang saku yang tak cukup-cukup juga. Meskipun aku tahu berkerutlah keningnya ketika aku meminta.

Satu hal yang masih pekat dalam ingatanku adalah ketika pertama kali Papa dan Mama akan meninggalkanku sendiri tinggal di Jogja. Tepat sebelum Papa keluar dari kamar kost 4x4ku, Papa memelukku dan memberi wejangan dengan nada suara bergetar. Aku meminta maaf pada Papa karena selama aku tinggal dirumah dengannya aku selalu bandel dan menyusahkannya.
Bahkan pada saat itu Papa masih mampu berkata “Adik nggak perlu minta maaf. Papa bangga.”

Maaf Pa, Adik belum sepenuhnya bisa membuat Papa bangga.

Selamat Ulang Tahun yang ke-51, Papa.
Terimakasih telah menjadi Papa yang sangat luar biasa.
Terimakasih.
Papa laki-laki terhebat yang pernah ada.


Sun Jauh, Adik.