"Kamu mau melakukan tindakan kriminal nggak?"
"Hah? Apa?"
"Apa kamu mau mencuri nama belakangku?"
Sontak aku tertawa mendengar leluconmu itu.
Guyonan yang sebenarnya sering kubaca di akun cinta-cintaan di jejaring sosial favoritku.
Pernyataan yang samasekali tidak tidak mampu kujawab.
Bukan maksud mengiyakan atau menidakkan.
Hanya saja sangat lucu kalimat itu meluncur dari bibirmu.
Masih sangat baru diingatanku bagaimana caramu menyampaikan kata-kata itu
Saat itu aku dan kamu berjalan-jalan tidak menentu
Berteman angin dingin yang semakin merapatkan lenganmu dengan punyaku
Kamu terlihat linglung mendengar tawaku
Lalu dengan wajah polos memelas kamu mengulangi kalimatmu
"Mau nggak? Mencuri nama belakangku?"
Kuringiskan saja gigi-gigiku
Aku mau tapi aku malu
Masih benar kuingat bagaimana air mukamu saat menyampaikan kalimat itu
Kalimat klise yang terdengar manis saat muncul dari bibirmu
Kata-kata yang samasekali tidak terbayang akan kau ucap seperti itu
Wajah polosmu menambah rasa ingin tahuku
Apakah saat itu, memang benar adanya begitu?
Bahwa aku yang mampu mencuri nama belakangmu?
Sore tadi ada yang sangat membenciku, dia bernama hujan.
Membiarkanku kelaparan tanpa ada kepastian kapan aku bisa sarapan.
Memaksaku untuk tetap dikamar dan bergelut dengan kenangan.
Mempertajam pendengaranku akan suaramu yang tajam dan jantan.
Memperjelas indera penciumanku tentang bau tubuhmu yang menawan.
Dan pada sore itu aku hanya dikamar sendirian.
Merasakan kehadiranmu yang berbayang perlahan.
Aku benci kondisi seperti ini saat sendirian.
Aku merasa menjadi orang paling kasihan.
Tidak kok, aku tidak kasihan.
Aku masih mampu menertawakan hal-hal yang tidak lucu bersama teman-temanku.
Aku masih mampu menggerakkan jemariku untuk menulis cerita tentang lelakiku, dulu.
Aku masih mampu berjalan sendiri di pusat perbelanjaan untuk sekedar membeli baju.
Aku masih mampu memenjarakan diriku agar tidak terlalu jauh langkahku.
Aku masih mampu merawat hati yang masih terluka saat kau rampas dulu.
Juga saat-saat dulu ketika perlahan kamu menelanjangi perasaanku.
Polos.
Iya, memang tak perlu berbalut satu apapun untuk mampu mencintaimu.
Sederhana.
Iya, memang sederhanamu yang membuatku ingin bersanding selalu.
Murah.
Iya, memang tidak perlu mengocek kantong dalam-dalam untuk menyiapkan waktu bersamamu.
Namun bukan waktu polos yang hambar kurasa.
Tapi kualitas waktu yang kurasa.
Bahagia.
Namun bukan perasaan sederhana yang kupunya.
Tapi sejauh apa aku merajut cita-cita.
Berdua.
Namun bukan laki-laki murahan yang kupinta.
Tapi laki-laki yang semakin menumbuhkan bunga di dada.
Sempurna.
Dan ternyata kamu pergi begitu saja.
Meninggalkan hatiku telanjang terlunta-lunta.
Tiada ampun merampas bahagia yang kupunya.
Memeras air mata setiap malam tiba.
Mencuri waktu yang harusnya bisa kulewatkan bersama.
Andai saja saat itu aku bilang iya.
Mencuri nama belakangmu, Yanitra :)