Saturday, June 18, 2011

I'm Fine, Thank You

Sekali lagi aku menulis tentang kamu, lelakiku. Maaf aku tidak cukup tahan untuk tidak menulis tentang kamu. Tentang nafas lelahmu berjalan melalui jalanan di sepanjang hidupmu. Tentang bekas luka dikakimu pertanda sudah banyak kamu tersandung dan terjatuh. Tentang goresan ditanganmu sebagai tanda kamu pernah menebas ranting yang menghalangi jalanmu. Aku bergeleng sengit melihat bekas-bekas lukamu juga tangan dan kaki kasarmu. Namun, bukan keluhan kesal atau lelahmu yang aku dengar, hanya derai tawa dan deretan gigi rapimu yang sering kau pamerkan kepadaku. Aku tidak mau kalah! Aku juga punya deretan gigi yang rapi :)

Sekali lagi aku menulis tentang kamu, lelakiku. Maaf aku tidak cukup tahan untuk tidak menulis tentang kamu. Meskipun aku belum menemukan kata-kata yang mampu mendeskripsikan secara jelas tentang kamu, bolehkah aku mencatat sedikit tentang apa yang aku tau? Maaf kalau memang aku belum cukup mengenalmu. Sedikit saja, bolehkan?

Lelakiku, aku ingin menulis tentang kamu.
Ada sesuatu darimu tentang masa lalu. Ketika saat itu aku pun belum mengenal dirimu. Sekedar bisikan darimu sore itu. Ketika kamu ditandu oleh wanita yang bukan aku. Kamu berjalan, tertatih, terjatuh dan akhirnya mampu bangun lagi.

Lelakiku, aku ingin menulis tentang kamu.
Tentang cerita kecewamu karna masa lalu. Ketika impianmu terhempas oleh kesalahanmu. Cerita yang tidak pernah lengkap aku dengar dari bibirmu. Cerita yang baru kau ceritakan setelah kupaksa terlebih dahulu.

Lelakiku, aku ingin menulis tentang kamu.
Tentang mata sayumu di sore itu. Seorang perempuan yang bukan aku yang kamu kagumi dari ceritamu. Perempuan baik hati yang mampu mengerti dirimu. Meskipun tak bisa lagi kulegakan telingaku, tapi aku harus. Aku harus berpura-pura mampu.

Lelakiku, aku ingin menulis tentang kamu.
Ada apa sayang? Takutkah kamu kepada pusaran kenangan yang membawamu ke masa lau, ke masa itu, bersama wanitamu yang bukan aku. Juga beberapa jejak penyesalan dimata sendumu. Dibalik kelopak mata yang tidak bisa kau tutupi dengan tawamu, aku melihat ada rindu disitu.

Lelakiku, aku ingin menulis tentang kamu.
Dibalik gelap matamu, aku memergokimu kamu tersenyum sendiri. Sebuah doa yang kau lantunkan dalam hati. Seakan kau akan rentangkan tanganmu selabar mungkin kitaka sewaktu-waktu dia datang dalam mimpi. Dan hingga pada akhirnya sudah tidak ada lagi satupun hal yang kau sesali.

Lelakiku, aku ingin menulis tentang kamu.
Jika lidahmu terlalu kelu dan tidak mampu untuk mengucapkan kata rindu. Sampaikanlah saja padaku. Tidak apa-apa sayangku, aku tahu. Itu masa lalu. Meskipun perempuan itu bukan aku.

I'm fine, thank you :)

Laki-Laki

Laki-laki yang kuat bukan laki-laki yang tidak terbatuk menghisap puluhan rokok setiap harinya. Laki-laki yang kuat bukan laki-laki yang bertubuh kekar ataupun berjambang sangar. Laki-laki yang kuat adalah laki-laki yang tidak menyerah saat pilihan tidak mudah.

-unknown-

Friday, June 17, 2011

Album

Aku membuka lembaran album lamaku. Membaca-baca tentang yang dulu. Aku tersenyum lucu. Mengingat masa lalu. Yang awalnya kukira semua sudah tentu.

Aku membuka halaman baru. Mencoba menulis sesuatu hal yang seru. Menulis tentang orang-orang baru yang mungkin bisa kujamu. Ah, malah menjadi sesuatu yang tabu.

Aku membuka halaman dua puluh satu. Cerita tentang dia dan aku. Cerita pendek yang sudah berlalu. Nyanyian-nyanyian mimpi yang terdengar merdu.

Aku membuka halaman rindu. Kisahku. Tentang aku, dia, atau kamu. Yang bercampur menjadi rancu. Juga sedikit goresan-goresan berwarna biru.

Aku membuka halaman satu. Kembali lagi kecerita yang dulu. Tentang cerita hidup yang semu. Dan menimba harap suatu hari akan menerima seorang tamu. Tamu yang satu.

Aku berhenti dan menutup albumku.

Kukira aku tidak memerlukannya lagi. Untuk apa kusimpan? Untuk membantuku mengingat masa lalu? Melihat luka-luka itu? Mendengar bisikan mimpi yang tidak perlu?

Kunyalakan lampu kamarku. Awan sore yang mulai meredup. Cukuplah untuk memberi cahaya baru. Kudengar dering telepon genggamku. Kamu sudah menunggu didepan pagar kos-ku.

Segera aku berlari mengambil kunci kamarku, membuka pintu dan ingin segera menemuimu. Melihat wajah barumu. Aku tersenyum tersipu. Kamu membalas kaku.

Sore itu. Menjadi sore dengan waktu terpanjang dalam sejarah hidupku. Hanya ada aku dan kamu. Saling bergandeng dan menggenggam tangan seakan tidak mau ada yang pergi atau berlalu. Tidak peduli dengan waktu.

Sore itu. Aku dan kamu. Satu.

Sore itu. Kamu memberiku album baru. Aku tersenyum malu-malu.

Bukan Majas

Bukan salahmu jika aku menangis, bukan salahmu pula jika aku terluka. Tenang saja, sungguh semua bukan salahmu.
Aku yang salah. Aku yang terlalu peka. Aku berimajinasi terlalu jauh. Aku takut semua tidak akan baik-baik saja.
Aku yang salah. Aku terlalu berlebihan. Memang hatiku yang terlalu cupu menerima fakta. Sungguh memang benar hatiku sempit.
Bukan aku tidak suka. Mau apa?
Bukan aku tidak suka. Bagaimana?
Bukan aku tidak suka. Aku bisa apa?
Aku tidak tahu benar mana yang benar dan mana yang tidak. Aku tidak mahir menebak-nebak.
Satu,
Dua,
Tiga..
Ah, kubenamkan mukaku di tempat tidur sejenak. Menabung sakit. Mengubur pahit.
Membiarkan bantalku berbercak. Berbekas air mata senduku. Berbekas rasa cemburu. Ingatmu. Masa lalu.
Berelegi.
Ironi.
Berpemandangan waajah terpejammu mendengar iringan menyayat hati. Tenanglah, akan aku simpan sendiri. Sudah cukup banyak sajak yang kau beri.
Semua terjadi begitu saja. Bukan kehendakku ataupun kamu. Hanya masalah waktu. Dia yang lebih dulu.
Adakah dia ceritakanmu seperti ceritamu padaku?
Berbalut doa kau memeluk dia. Aku tersenyum, hatiku pahit. Aku tersenyum melihat kamu tersenyum, hatiku sengit. Memandang kosong langit-lagit sudut kamar. Bukan melamun, sekedar mengingat sekumpulan rangkaian pertamamu.

Aku sakit.
Sedikit..

Friday, June 10, 2011

That Scar You've Made

Aku bukan orang yang pandai menghitung dosa. Aku bukan orang yang bisa berselingkuh dengan diriku sendiri. Aku bukan orang jenius yang mampu menata perasaan alphabetis. Aku ceroboh. Sangat ceroboh.
Sudah berapa gelas dirumahku yang terpeleset dari telapak tanganku. Sudah berkali-kali aku lupa mematikan lampu. Seringkali pula aku lupa siapa nama teman-temanku. Aku ceroboh, aku mengiring orang yang belum saya kenal benar. Mengikutinya berlari hingga terseret-seret.
Nah, benar kan? Aku temukan banyak luka di kakiku, juga ditanganku, dan disekitar wajahku. Lalu dia menyambut dengan lembaran-lembaran dusta mendongeng dengan indahnya. Aku terlelap. Aku tertidur.
Ternyata ratusan malam kulewati sia-sia saja. Dia membangunkanku dengan air keras. Menampar dan membanting harga diri. Apa dayaku? Apa aku mampu membalas? Ternyata tidak. Aku menemukan diriku sudah penuh dengan bekas luka, sudah sembuh memang. Tapi bekasnya sungguh sangat mengganggu. Goresan-goresan cokelat tua juga rangkaian kain suci yang menutupinya.
Coba saja aku berjalan sendiri pada saat itu. Tidak akan ada bekas-bekas laknat itu. Aku menghina diriku sendiri dengan keinginanku. Aku mencaci dan meludahi kepalaku sendiri.
Aku menyesal. Iya sungguh aku sangat menyesal. Kenapa harus denganmu? Kenapa harus bergandeng dibelakangmu?
Kulihat deretan angka di kalender mejaku. Aku tidak mampu menghitung sisa usiaku. Sedangkan aku belum mampu pula menghilang bekas-bekas itu. Bagaimana kalau sudah habis waktuku?

Luka-luka itu tidak bisa dinamakan cinta, sayang..

Thursday, June 09, 2011

Have You Ever..

Pernahkah kamu bertemu dengan seseorang dengan waktu yang sangat singkat. Ditempat dimana seharusnya memang pertemuan-pertemuan singkat terjadi dan terhenti oleh terbitnya matahari. Berkawan asap dan dentuman yang memekik telinga. Memijak dengan kaki berjinjit, berpeluk dingin ruangan, bersolek sia-sia. Merekah iri pasangan tak berjarak. Berobat tawa dan rangkulan senyum sahabat.

Pernahkah kamu berada di tempat orang kaya membuang keringat untuk sekedar dikeluarkan melalui kerongkongan. Tempat yang seharusnya terlalu mewah untuk seorang yang masih memanja papa mama. Mengadakan alasan untuk merogoh lembaran-lembaran uang saku satu bulan. Ditempat seharusnya kamu tidak berada namun bertemu bahagia. Bertemu cassanova, atau topeng-topeng berwibawa.

Pernahkah kamu membawa pulang mata tajam untuk disimpan. Juga sedikit luka bakar kecerobohan disekitar lutut kanan. Rasa bersalah akibat kebodohan. Tidak tertidur dan tetap terjaga semalaman. Berbingkai bayangan hitam dibawah mata juga kepala berbeban.

Pernahkah kamu menunggu sesuatu yang sempurna. Atau hampir mungkin. Sesuatu yang telah dipahat, hampir sempurna. Goresan goresan kecil yang tidak terlalu mengganggu buat terduduk menggenggam telepon genggam tersipu. Atau mungkin menunggu lelaki yang telah kau titipkan kedua matamu dihatinya? Menunggu hanya untuk sekedar mencium bahunya yang tepat berada dalam satu garis vertikal dengan hidungmu. Juga ingin sedikit menyandarkan kepala beratmu diujung bahunya. Merapat dengan detak jantung, mendengar dan menikmati pompaan darah mencuri degup milikmu. Berharap jarum jam tidak berjalan kekanan. Mengumbar mimpi dan kata-kata klise. Melempar pandang dan mencuri nafas melewati sudut bibir.

Pernahkah hal-hal tersebut membuatmu merasa seperti merasa memiliki romansa film Korea dan berterimakasih atas hela senyum dan tawa bersamanya?

Pernahkah kamu?
Aku pernah..

Euforia

Sudah lelah aku meredam mukaku yang memerah kesal, marah. Diawal pekan dimana aktifitasku belum kutunaikan juga. Bukan malas, bukan tidak mau. Hanya memang prosedurnya seperti itu. Kurapikan emosiku, kutata dan kususun di sudut rak yang telah kusiapkan. Aku sudah terikat tanggung jawab.
Kemarin, tiga malam yang lalu aku bukan satu-satunya orang yang mengeluh jenuh. Aku mencoba mengingat menghitung usiaku, ternyata memang sudah merapuh.
Malam ke empatku kali ini dengan berat hati aku akan melalui hal yang sama dengan beberapa malam kemarin. Ah, apa-apaan?
Kucoba meraih telepon genggamku mencoba mencari sahabat yang mampu menemaniku mencaci bulan tersenyum.
Lima menit.. Sepuluh menit.. Tiga puluh menit..
Ah!!!
Malam ini masih remaja, masih kuat untuk mengangkat senyum teman-temannya.
Terlalu lama aku berselisih dengan waktu, berlomba lari dengan malam. Aku tak ingin membagi tugas lagi.
Bukan lagi tentang batas kewajaran, aku sudah lelah. Kuinjak pedal gas si Bemby kesayanganku mencari semacam tawa atau semacam pijakan lompat dan berdansa.
Kutunggu,
Lima menit.. Sepuluh menit.. Tiga puluh menit..
Ahaaaa! Kutemukan sahabat lamaku, bersapa senyum dan basa-basi apa kabar kuhampiri mereka. Kurasa mereka cukup menjadi teman euforiaku. Bercerita hari-hari yang kulewatkan tanpa kehadiran mereka. Tertawa, menggoda.
Entah mengapa saat itu lampu bersinar lebih terang dari matahari, mataku berkunang? Atau mataku berkabut? Atau memang sangat terang?
Tanganku berkeringat, seperti biasa. Berjabat basah. Berlalu.
Teman lama, teman baru. Lengkaplah sudah! Berkas emosi yang kusimpan tadi sudah melapuk. Biarlah, kubersihkan esok hari.
Basa-basi, menyapa, menggoda, mengerling, berkedip.
Aku-dia. Kamu-yang lain. Lucu!
Euforia sempurna.
Berakhir kecupan klise dan senyum meragu. Entah semuanya begitu terasa benar..

Relatif

Apa aku salah jika aku tidak memiliki jawaban ilmiah tentang beberapa pertanyaan :

Mengapa aku lebih suka menggunakan kaos polos daripada baju-baju manis yang biasa membingkai tubuh mungil seorang gadis?
Mengapa aku lebih suka warna-warna netral seperti hitam, putih, coklat, atau abu-abu?
Mengapa aku suka wangi-wangian yang manis seperti coklat atau vanilla?
Mengapa aku membenci makanan lembek seperti bubur atau cream soup? Padahal mereka bilang makanan itu begitu memanjakan lidah mereka.
Mengapa aku sangat menyukai buah pisang?
Mengapa aku tidak mampu mengendarai mobil dengan menggunakan alas kaki?
Mengapa sangat sulit bagiku untuk bisa mengatur keuanganku?
Mengapa aku bisa terlihat begitu tidak bersahabat terhadap orang-orang baru?
Mengapa aku sulit untuk berada di lingkungan baru?
Mengapa aku tidak bisa menyimpan segala unek-unek dan pikiran dalam benakku?
Mengapa aku begitu mudah marah, menangis, dan tertawa? Sedangkan aku begitu sulit memaafkan orang yang kubenci?
Mengapa aku begitu mudah menerima ajakan orang lain?
Mengapa aku sulit menolak keinginan orang-orang terdekatku?
Mengapa aku membenci perempuan-perempuan plastik?
mengapa aku merasa tidak nyaman berteman dengan orang-orang yang tidak memiliki selera musik yang sama denganku?
Mengapa aku suka tidak peduli dengan lingkungan sekitarku?
Mengapa aku begitu keras kepala terhadap nasihat-nasihat yang telah diberikan kepadaku?
Mengapa aku suka berbicara dengan bayanganku sendiri di cermin?
Mengapa aku begitu sulit untuk mengingat nama, kejadian, atau hal-hal tertentu?
Mengapa aku mau menerima orang yang belum lama bahkan sangat baru aku kenal?
Mengapa aku memilih kamu? Bukan bersama dia atau yang lainnya.
Mengapa aku sangat kesal ketika kamu tidak mengirimiku pesan atau sekedar memberi kabar?

Coba tanyakan beberapa pertanyaan anomali tersebut kepadaku dan aku akan menjawabnya sesuai dengan suasana perasaanku pada saat itu. Mungkin kamu akan menemui jawaban-jawaban yang berbeda di setiap waktunya. Bukan aku berbohong, sungguh. Tapi memang pertanyaan-pertanyaan tersebut relatif. Semua tergantung siapa yang bertanya, dimana dia akan bertanya, pada saat apa dia bertanya, atau dengan siapa saya ketika dia bertanya. Banyak pilihan.

Ya memang, hidupku memang serba anomali. Semua tergantung dari apa yang mereka berikan kepadaku. Terdengar egois memang, ya tetapi meamng begitulah aku, bersahabat dengan teman terbaikku. Sahabatku terbaikku ketika aku tertimpa masalah, mereka adalah telapak tanganku. Iya, kedua telapak tanganku. Karena ia mampu menutup telingaku saat aku mendengar teman-temanku berbicara hal-hal buruk tentangku dibelakangku. Karena ia mampu menutup mataku ketika aku melihat orang-orang yang membuatku kesal, marah, sakit hati dan menangis. Karena ia mampu menutup mulutku ketika aku ingin mengumpat mereka, membalas kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulut mereka.

Benar kan apa kataku tadi?
Memang hidup macam yang kujalani ini belum kutemukan jawaban ilmiahnya.
Semuanya relatif..

Saturday, June 04, 2011

Ironi

Kemarin, baru saja aku melihatmu berpeluh. Bukan karena terik matahari, bukan ulah angin panas di Jogjakarta. Iya, aku melihatmu berpeluh. Melalui celah tembok yang menjadi batas. Sekedar mengintip melihatmu tertawa bermain dan berlari. Bermain dengan duniamu, melihat dan mempelajari satu persatu. Bagaimana aku harus mengatasi situasi memang tidak selalu menjadi seperti yang aku ingini.
Memang sedikit sulit untuk dimengerti. Akan kamu dan dunia imaji. Aku memang mulai terbiasa dengan kehadiranmu, tapi aku juga tidak bisa menyajikan yang indah-indah saja. Ada kalanya aku memintamu ini dan itu, hal yang kamu tidak mau. Aku hanya mngerucutkan ujung-ujung bibirku dan alihkan pandanganku.
Kamu pergi. Bukan tidak suka, hanya menyenangkan anak perempuan manja yang sudah terlanjur mengalung di punggungmu.
Begitu banyak cerita yang mampu kuukir di dinding otakku. Meskipun terkadang suaranya menderit mengiris telinga. Tentang cerita dini hari kau katakan kamu suka aku, cerita kucing-kucingan dengan sahabatku, cerita cemburu ketika kulihat selembar foto wanita yang masih kau simpan di dompetmu juga caramu membungkam mulutku yang tidak mampu menahan umpatan cemburuku.
Aku suka ketika aku tertawa melihatmu terdiam pasrah akan ulahku.
Aku suka ketika aku tidak mampu berbicara di malam hari karena tatapanmu.
Aku suka ketika aku tidak mau ada jarak ataupun batas antara aku dan kamu.
Aku suka ketika kamu bertanya "Siapa kamu?"
Hingga pada suatu hari aku menemui batu sandung. Kecil memang, tidak terlihat. Akupun tidak yakin apakah sudah rabun mataku atau memang seperti itu. Aku melihat, mencoba merasa dan meresapi juga membaca.
Disudut matamu bertuliskan akan sesuatu yang baru tentang kamu yang tidak ingin diganggu..

Friday, June 03, 2011

Love Bird

Bukan melankolis, bukan cerita cinta.
Aku selesai menulis beberapa goresan tentang kamu yang kusembunyikan dibawah meja belajarku. Sebuah tanda ketika aku bisa menerimamu.
Satu minggu. Bukan waktu yang cukup untuk aku mampu mengenalmu. Tapi satu minggu kamu menggeledah isi otakku. Meneliti dan menganalisa tentangku dan membuat formula baru. Mendidih. Menguap. Ada asap diatas kepalaku. Ya memang begitulah otakku.
Masih terlalu lugu aku akan hal-hal baru, orang-orang baru juga suasana baru.
Aku.. Aku..
Sudah kuhitung berapa banyak candu yang menggelayut di kakiku. Memaksaku menyeret tentang cerita masa lalu yang sungguh ingin kutendang jauh. Hanya saja entah mengapa kamu masih saja sudi menungguku berjalan terseret. Oh atau mungkin aku berhasil berpura-pura mampu berlari cepat.
Tidak seperti sebelumnya, bukan cassanova, bingkai sederhana.
Hatiku menjadi sombong! Sangat acuh. Ia tidak peduli dengan apa kata logika. Ia tidak pernah bisa menolak untuk menjamu perasaan senang dan bahagia ketika bertemu lawannya.
Bukan melankolis, bukan puisi cinta.
Umpatan yang berakhir tawa. Selalu berhasil mengikat syaraf bahagia. Begitulah adanya. Manis-manis saja yang kurasa, bukan apa-apa hanya saja aku ingin merasa bahagia. Terkasihi dan mangasihi. Selayaknya aku bisa cemburu dengan istri kakakku, seperti aku kesal dengan pekerjaan sibuk ayahku, juga dering ponsel ibuku yang mengganggu. Dan sekarang aku bisa marah ketika kamu tidak ada waktu.
Bukan waktu yang lama untuk bisa memberi, tapi apa daya. Satu sangkar telah mengurung kami..
Memang seperti ini adanya, bukan melankolis, bukan cerita cinta.
Jarak dan waktu yang tidak membatasi kita :)

Satu - 1

Cermin berbingkai kayu itu menjadi saksi bisuku. Berbicara dengan bayanganku menjadi rutinitas harianku. Aku dan aku. Selalu saja begitu.
Kugosok rambutku dengan sisir kayu, agar aku terlihat cantik. Kupakai baju terbaikku, aku ingin menjadi perhatian. Sekali ini, hari ini.
Sebelum kuselipkan kakiku pada sepatu cantik pemberian ibu aku menghela nafas dan berdoa dalam hati. Hari ini saja, aku mau hidupku berarti.
Kuraih tas jinjing kesukaanku. Langkah kaki pertamaku di pagi ini haru bisa membawaku ketempat dimana aku bisa wujudkan mimpi.
Kususuri jalan-jalan berbatu didepan rumahku, aku berjalan saja. Tidak tahu harus kemana dan harus bagaimana. Akupun juga tidak akan takut tersesat ditengah jalan nanti, aku mengenal kota ini. Kota kejam, kota jahat, yang menyiksaku setiap hari. Kuhirup aroma matahari pagi, mendengar tetesan embun samar. Entah mengapa hal-hal tersebut membawaku begitu bahagia.
Kehentikan langkahku saat aku melihat ada kedai kopi kecil disudut jalan yang tidak terlalu ramai. Mungkin pagiku akan sempurna dengan aroma kopi, pikirku. Aku berjalan mendekat dan tersenyum simpul ketika aku melihat tulisan "Open 24 Hours". Sempurna..
Kedai kopi itu masih sangat sepi hanya ada dua orang waiter dengan mata memerah. Mungkin dia menjaga kedai kopi ini sejak larut malam tadi. Dengan nada menyeret mereka mengucapkan selamat datang kepadaku dan memberikan daftar menu sambil tersenyum. Aku tidak perlu menu itu. Aku sudah tau apa yang ingin kupesan. Kukembalikan daftar menu itu kepada waiter tersebut. Espresso. Aku ingin espresso.
Sambil menunggu espresso ku datang aku bermain dengan imajinasiku, aku membayangkan tentang hal-hal apa yang akan kulakukan hari ini. Aku ingin bertemu dengan orang-orang baru, aku ingin berkenalan dengannya, aku ingin jalan-jalan dengannya, aku ingin teman..
Seorang pria bertubuh tegap memasuki kedai kopi yang kukunjungi. Ia memilih tempat duduk di sudut ruangan, dimana aku bisa melihatnya dengan jelas. Pria tampan, dan ia tersenyum padaku.
Espresso ku datang, temanku datang.

to be continued...