Monday, July 24, 2017

Bayang Jarak dan Waktu, Waktu Itu

Terbangun dan berbunga.
Sebentar lagi hujan datang katanya.
Masih dibaring oleh sela cahaya.
Karang hati sedang bertanya.

Tetesan air terasa ramah di kepala.
Hangat, merajang penat.
Tiupan angin panas menyapa.
Belum terlambat, masih pukul empat.

Melangkah kaki menuju senja.
Menggenggam peta buta.
Aku mengenal rasa tidak percaya.
Tentang rasa getir di dada.

Lambai jariku mengetuk pintu kayu.
Berderit pelan menuju sayu.
Senyum asing yang bertemu.
Aroma matahari menyapa rindu.

Ruang dosa yang akan terisi.
Menghamba pada ruam hati.
Pada diriku kamu mencari.
Tentang dia dan wanita yang kau temui.

Pada secangkir kopi kamu berbagi.
Petualangan yang tidak lelah kamu imani.
Pada jarak tanpa harus beranjak pergi.
Sesap sapa yang ingin kau ulangi.

Malam lajang, berkata ironi.
Dengung sayup meregang memori.
Mengalun, berderu, mengajakku menari.
Romantis, katamu percaya diri.

Dan pada imaji aku bertaruh pada waktu, semoga berarti, meskipun semu.

Thursday, July 13, 2017

Asumsi Bebas

Kepergian tanpa ekspektasi.
Dengan raga ingin mengulang.
Satu dua hal yang sesekali datang.
Pergi dan hilang.

Malam dengan penuh peperangan.
Kepala dan hati berkabut ilusi.
Memecah dinding yang selama ini bertahan.
Terikat dengan malam menuju pagi.

Maksud hati ingin mawas diri.
Berteman dengan si periang hati.
Membelah diri.
Beratap bulan dan tanah yang terbakar api.

Pada ironi yang terbatas.
Keramahan mulai tertawa lepas.
Terngiang-ngiang keras.
Bunga liar terjun bebas.


Kali ini saja, aku menemukan diriku sendiri kembali.
Tentang pulang.

Sunday, July 02, 2017

Yang Pada Akhirnya Kita Satu

Perjalananku menuju tua.
Bersanding dengan pohon-pohon buruk rupa.
Pinggiran kayu yang menggores luka.
Sengau rintihan di ruang senja.

Aku sempat bertanya,
Dimana letaknya bahagia itu berada,
Disela nafas yang tak kau hela,
Katanya.

Lalu perih pilu menjadi rahasia.
Disaat lambaian masa lalu mulai menyapa.
Menjanjikan madu dan manisnya.
Namun...

Jika aku adalah satu.
Maka kita adalah pecahan angka.
Karena kamu sisipkan penyebut.
Bisa jadi dua, atau dia.

Aku belajar tentang kehilangan.
Ketidaksempurnaan yang menghapus angkuh pelan.
Afirmasi.
Berani akan pengakuan, bahwa ada ruang yang belum terisi.

Kamu dan aku,
Karya seni peri-peri pemalu.
Menggumam mantra dengan tongkat kayu.
Hilang untuk bertemu.



Jakarta, 2 Juli 2017

Thursday, November 10, 2016

Satu Diantaranya

Aku serupa bintang yang kamu hitung setiap malamnya.
Setitik terang dalam gelap yang tidak juga cerahkan langitnya.
Cahaya fana pantulan cahaya abadi, matahari.
Dan akan menghilang saat gelapmu pergi berganti pagi.

Aku serupa bahasa yang tidak kamu pahami.
Peribahasa yang tak memiliki arti.
Susunan kata demi kata menjelma dalam sebuah puisi.
Dan akan terlupakan saat halaman bukumu berganti.

Rupanya kamu mencintai hal-hal nisbi.
Pandangan dan juga pemikiran yang kamu rangkum dalam sebuah teori.
Nyatanya kamu menjadi realistis.
Makna kasat mata yang tak bersifat historis.

Oleh karena itu aku mulai menulis,
Agar bisa kau ingat tipis-tipis.
Perempuan dan janji-janji manis.
Pertemuan dan hati-hati teriris.

Satu kali, dua kali, dan tiga kali.
Kisah kasih yang kau ikat tak bertali.
Menawarkan giur bercinta tanpa wali.
Sengit, menggigit gulali.

--

Dan aku pun masih mengenal ramah tamah.
Menyambut cium kerah kemejamu yang memerah.

Monday, August 08, 2016

Kesepakatan Bersama

Mengapa kita harus dikotak-kotakkan dalam sebuah kesepakatan bersama?

Minggu sore, hujan, dan teman berbincang yang cerdas.
Apalagi yang lebih baik untuk menghabiskan sisa akhir pekanku? Akhir yang sempurna.

Dua gelas teh hangat, menggiring kita untuk bertanya tentang apa tujuan hidup?
Aku bertanya pada kawanku, sebelum menjawab dia berkata bahwa pertanyaanku bagus.
Aku menunggu jawabannya selagi dia tersenyum dengan pertanyaanku.

"Damai."

Klise. Pikirku. Diawal. Semua orang akan menginginkan kedamaian dalam hidupnya. Kita semua mengetahui itu. Namun aku terdiam saat dia menceritakan tentang bagaimana proses menuju kedamaian menurut sudut pandangnya.

Kaya - Miskin. Baik - Buruk. Pintar - Bodoh.

Itu hanya kotak-kotak yang dibentuk oleh manusia. Suatu kesepakatan universal yang menyetujui bahwa orang kaya adalah orang yang memiliki uang dengan jumlah yang sangat banyak dan orang miskin adalah orang yang bahkan esok hari belum tahu apakah mereka mampu untuk makan atau tidak.

Bagaimana jika sebenarnya definisi kaya yang sebenarnya adalah ketika kamu menerka-nerka apakah esok hari kamu akan bisa makan atau tidak namun selama ini kamu bekerja keras untuk merawat pohon singkong yang kamu tanam di halaman rumahmu yang sempit?

Bagaimana jika definisi kaya yang sebenarnya adalah ketika kamu memiliki dua atau tiga orang yang tidak pernah meninggalkanmu dalam kondisi apapun?

Bagaimana jika definisi kaya yang sebenarnya adalah ketika kamu melihat mata seseorang dan kamu tenang, aman, dan nyaman?

Dan bagaimana jika definisi miskin yang sebenarnya adalah ketika kamu selalu berusaha untuk membuat decak kagum orang yang bahkan kamu tidak kenal dan tidak peduli dengan uang yang mungkin tidak semuanya kamu miliki?

Karena begitu banyak deru tangis dan teriakan penyesalan terdengar dari balik dinding-dinding rumah mewah.


Tuesday, July 26, 2016

Agama Fana

Kamu bisa saja mengatakan bahwa aku tidak beragama, karena aku pendosa.
Aku berdosa, karena aku tidak bisa menjaga mata.
Aku tidak bisa menjaga mata untuk melihat apa yang kamu tidak lihat.
Tapi percayalah, sayang.
Percayalah bahwa aku percaya manusia bisa bersalah, menyesal, namun kembali berulah.

Kamu bisa saja mengatakan bahwa aku tidak beragama, karena aku pendosa.
Aku berdosa, karena aku tidak mampu menjaga bicara.
Terlalu banyak telinga-telinga yang pedih mendengar tentang fakta.
Tapi sungguh, percayalah, sayang.
Percayalah bahwa aku percaya jiwa yang utuh akan terbentuk dari hati-hati yang terluka.

Kamu bisa saja mengatakan bahwa aku tidak beragama, karena aku pendosa.
Aku berdosa, karena aku tidak bisa menahan dengar mereka berbicara.
Lenguhan wanitamu yang memekakkan telinga, hadir disela-sela tawa yang kupikir itu nyata.
Tapi cobalah untuk percaya, sayang.
Percayalah bahwa aku percaya suara-suara kecil itu terdengar samar meremukkan raga.

Kamu bisa saja mengatakan bahwa aku tidak beragama, karena aku pendosa.
Aku berdosa, karena aku tidak bisa menahan sentuhan pria.
Pria yang melemahkan aku di setiap tatapan matanya, menawarkan bahagia.
Tapi aku mau kamu percaya, sayang.
Percayalah bahwa aku percaya disetiap inchi sentuhan darimu meregangkan mimpi bersama dimasa tua.

Tapi aku merasa bahwa aku beragama.
Aku beragama karena aku percaya.
Percaya pada hal-hal yang tidak mampu tertangkap oleh panca indera, namun aku cukup yakin bahwa hal itu terasa nyata, ada, hadir, dan membuatku aman terbelenggu rasa iman.

Namun bagaimana rasanya, apabila kamu mengetahui bahwa otak manusia terlalu sempurna untuk melakukan adaptasi?
Proses penerimaan dari memori yang berubah menjadi sugesti.
Tanpa pernah menemukan suatu hal yang menjadi bukti.

Mungkin kamu menjadi agama yang paling kubenci.
Meskipun keyakinan imanku masih terasa hakiki.

Saturday, May 09, 2015

Pulanglah, nanti.

Aku lupa cara menjadi dewasa.
Bersamamu diajarkanku cara berbicara dengan wibawa.
Tersenyum santun tanpa duka.
Bercakap tentang berandai nanti tanpa tersadar bahwa saat ini kita hidup di masa depan.
Juga cara nyaman menikmati rindu dalam diam.

Aku lupa bagaimana menjadi diriku.
Yang dahulu berulang kali kamu selamatkan aku dari menjadi yang lain.
Bahagia yang kita titipkan dalam sesapan kopi manis.
Sesederhana itu untuk menjadi aku yang kamu mau.

Aku lupa tentang cara mencari.
Yang kamu katakan hanya cobalah untuk menikmati.
Dingin pagi hari yang dibiarkan merana tanpa alasan mengapa harus pergi.
Terbangun dan menikmati sisa sepi.
Tanpa rasa ingin mencari pengganti.

Karena tidak bisa diganti, mungkin.
Aku tidak merasa kamu pergi.
Masih ada.

Biarkan keras kepalaku menyakiti diri sendiri.
Tentang aku yang tidak percaya kamu pergi.
Lagi.
Tanpa pernah kembali.

Apa aku juga harus pergi?
Meninggalkan ruang bahagia yang biasa terisi, diisi.
Seingatku hanya kita yang mengisi.
Dan sekarang terkapar sebentuk sunyi.

Aku lupa cara menerima.
Sudah penuh cerita bahagiamu, ruanganku tak bersisa.
Sesak dengan bisikan doa yang baru terdengar telinga.

Atau harus aku pergi jauh dari diriku.
Membentuk serupa aku yang dulu.
Sebelum mengenal ragu.
Meski nyatanya lagi aku tidak mau.

Maaf jika mungkin aku tidak kembali lagi.
Menjadi perempuan yang bisa membuatmu jatuh hati berkali-kali.
Bahkan aku tidak mengenal diri sendiri.

Aku lupa cara mencintai.

Pulanglah, suatu hari nanti.
Kembalikan aku tanpa sepi.