Friday, April 20, 2012

Aku Tahu Ada Apa Dibalik Pintu

Entah bodoh atau entah memang sudah seharusnya begini.
Bersungut rendah sembunyikan raut wajah memelas.
Angkat dagu dan tertawa.
Hahaha, bukan aku jika tidak mengenalmu.

Dengungkanlah lantunan syukur.
Begitupun juga bagaimana caraku belajar.
Mengerti hal-hal yang tidak biasa kupahami.
Memaklumi sikap meskipun sebelumnya belum pernah seperti ini.

Lihat mataku, dalam-dalam, tolong..
Aku tahu, egomu memucuk disudut mata.

Aku mengintimidasi, bukan.
Aku menaruh dengki, bukan.
Aku mencurigai, bukan.
Aku cukup cerdas untuk mampu memiliki persepsi.
Mengenalmu bukan hanya satu atau dua hari.

Kalungilah ikatan syukur.
Begitupun juga bagaimana caraku mendekat.
Beberapa hal yang mungkin sedikit berbahaya.
Seruan-seruan parau yang sungguh tak ingin kudengar.
Tapi sayang, aku tidak pengecut untuk memilih kata nekat.

Sentuh dadaku, rasakan, tolong..
Degupan jantung siap memecah dada sebelah kiri.

Dan akhirnya hujan mampu menghapus segala isi.
Aku yang dekat denganmu yang dekat dengan sajak satire merindu.
Sungutku semakin merendah seiring juga konsentrasiku yang sudah kamu pecah.
Memanaslah sudah tubuhku dibalik didihan darah.

Berbisiklah, pelan saja.
Aku takut ada yang mendengar. 

Kerahkan saja, jangan meragu.
Yakinlah suaraku tidak akan mengganggu.

Hentakkan, seiring alunan lagu.
Akan aku ikuti pola permainanmu.

Ikat saja, kalau memang itu keinginanmu.
Tapi jangan salahkan aku kalau kamu kalah lebih dulu.

Peluhku sudah banyak menetes dari dahi, telinga, leher, dagu dan jatuh ke bahu.
Pastikan sudah cukup peluhku beradu dengan milikmu.
Sudahkan kamu selesaikan pekerjaanmu?
Jika sudah, beritahu aku.
Sebelum aku jemu..

Berhitung

Satu dikali dua puluh empat jam bersamamu.
Kuhabiskan hariku membunuh waktu denganmu,
Membakar habis lembaran-lembaran uang yang menjelma dalam sebuah candu.
Mengunci rapat-rapat sisa hati yang terluka dulu, siapa tahu kamu mencoba mencari celah baru.
Satu dikali dua puluh empat jam bersamamu, itu seratus lima puluh dikali dua puluh empat jam yang lalu.

Dua dikali dua puluh empat jam bersamamu.
Kuhabiskan hariku untuk berlibur denganmu,
Menghabiskan sisa uang saku untuk satu bulan hanya untuk sekedar duduk dan menikmati alunan merdu ombak laut yang berderu.
Iya, cukuplah dua kali dua puluh empat jam bersamamu untuk mengenal sejauh apa aku mulai mengerti tentang kamu.
Dua dikali dua puluh empat jam bersamamu, itu kurang lebih seratus dua puluh dikali dua puluh empat jam yang lalu.

Tiga dikali dua puluh empat jam bersamamu.
Kuhabiskan waktuku untuk menatap wajahmu,
Untuk pertama kali aku sadar seberapa menggodanya indera bicaramu.
Bercerita banyak tentang keluarga, masa lalu hingga masa depanmu.
Sadarkah kamu saat itu?
Sungguh aku tidak terlalu mendengarkan ocehanmu, ingin sedikit aku menyicip dan menyesap harum indah kecupan pertamaku denganmu.
Tiga dikali dua puluh empat jam bersamamu, aku sedikit tidak ingat namun sekitar seratus dikali dua puluh empat jam yang lalu.

Empat dikali dua puluh empat jam bersamamu.
Kuhabiskan waktuku untuk menggenggam tanganmu.
Merasakan panas tubuhmu, semakin dekat semakin mengejar nafasku semakin berderu.
Kuputuskan untuk meninggalkanmu pulang terlebih dahulu, aku takut aku tidak tahan godaanmu.
Empat dikali dua puluh empat jam bersamamu, entah kapan itu aku sudah tidak tahu.

Lima dikali dua puluh empat jam bersamamu.
Kuhabiskan waktuku untuk bercumbu.
Mengecap rasa penasaranku yang terdahulu.
Mengecap bibir yang seharusnya bukan punyaku.
Lima dikali dua puluh empat jam bersamamu, aku sudah mampu menghapuskan khawatirku dulu.

Enam dikali dua puluh empat jam bersamamu.
Kuhabiskan waktuku untuk bercinta denganmu.
Merasakan tubuh tak bersekat antara aku dan kamu,
Apa kamu tau?
Itu bagian terfavoritku.
Enam dikali dua puluh empat jam bersamamu, kamu sudi mengecup keningku sebelum tidur.

Tujuh dikali dua puluh empat jam bersamamu.
Kuhabiskan waktuku untuk melakukan segalanya bersamamu.
Tertawa, bahagia, bercumbu, bercinta juga menangis merana.
Tujuh dikali dua puluh empat jam bersamamu, syukurku akan nikmat bersamamu.
Kamu yang kukata aku adalah kamu dan kamu sama denganku.
Tujuh dikali dua puluh empat jam bersamamu, sekitar tujuh jam yang lalu.
Sebelum aku merindukanmu mulai tiga menit yang lalu..

Thursday, April 19, 2012

Terang Bulan

Bulan, mari ceritakan apa yang telah kamu saksikan sebelum genap setengah lingkaranmu melengkung agung.
Ceritakan tentang tawa membahana dan juga tangis mengiris.
Ceritakan tentang peluh dan nafas yang mendengus.
Buka semua memori dalam ingatanmu dan begitu pula aku.
Mari kita saling mengeluh, mari kita saling bergumam, bukannya kita cukup lemah tapi memang terkadang beberapa kesal bergumul marah.

Bulan, mari ceritakan apa yang telah kamu saksikan sebelum genap setengah lingkaranmu melengkung agung.
Tentang catatan yang pernah kau tulis dengan tinta perakmu.
Tentang catatan yang juga sama kutulis sepanjang itu.
Seringkali kamu kesal dengan retorika palsu, begitupun juga aku.
Hingga pada saatnya aku dan kamu sepakat bahwa tidak ada lagi yang ditunggu.

Bulan, mari ceritakan apa yang telah kamu saksikan sebelum genap setengah lingkaranmu melengkung agung.
Tentang betapa acuhnya kamu akan ribuan pasangan yang selalu menghitungmu.
Tentang betapa muaknya kamu selalu dipanggil dan disebut akan tanda menguatnya ikatan.
Tentang bagaimana kamu menertawakan perempuan-perempuan salah kaprah akan hitungan bulan
Tentang bagaimana kamu mengibakan perempuan-perempuan yang bertahan akan penantian
Rasakan betapa lelahnya menjadi bahan penantian, yang mereka sebut dalam hitungan bulan.

Bulan, mari ceritakan apa yang telah kamu saksikan sebelum genap setengah lingkaranmu melengkung agung.
Aku pernah menghitung beberapa kali lingkaranmu melengkung utuh.
Namun belum selesai kuhitung kamu tertutup awan dan aku gagal menghitung.
Aku mencoba untuk menghitung lagi dari awal, mendungpun tak suka.
Berulangkali kamu berkata padaku jangan kau hitung! Kamu hanya sebagian titik dari langit, marilah duduk, bersantai, dan nikmati cahaya. Mari kita bergumam, bercerita tentang jeritan hati.

Bulan, mari ceritakan lagi sebelum genap setengah lingkaranmu melengkung agung.
Tentang lelakiku tanpa ikatanmu
Untuk kali ini aku menurut apa katamu, aku tidak lagi menghitung lingkaranmu
Dan juga aku tidak peduli tentang beberapa kali kamu berhasil membulatkan cahaya sempurnamu
Mudah saja bagiku untuk terjatuh karena silau cahayamu.
Dan mudah saja bagiku untuk terjatuh karena silau perasaan hati yang tak terbendung lagi.
Lagi-lagi kamu ingatkan, jangan kamu ulangi.
Menghitungi aku dan tidak sempat menikmati.
Kembalilah ketempat tidurmu, rebahkan tubuhmu, regangkan otot-ototmu.
Maka sempurnalah bayangan dia disamping tidurmu..