Monday, March 21, 2011

Dua Puluh Satu Abu-Abu

Hari ini abu-abu. Aku menaruh rindu, berbalut sendu, inginkan kamu.
Abu-abu, ketika hitam dan putih beradu.
Ketika mereka tidak tahu harus berpisah atau tetap menjadi satu.
Aku menjadi abu-abu ketika kamu berlalu beberapa hari yang lalu.
Menyesal, meratapi mengapa harus secepat itu.
Sesak, mengapa harus denganmu.

Aku ingat malam bersamamu. Malam abu-abu.
Berawal dengan jabat tanganmu, aku malu, kamu juga begitu. Disambut dengan tawaran sahabatku, aku mau tapi aku malu. Kuberanikan diri untuk maju. Tidak mampu untuk menyentuhmu. Lidahku kelu, lagi-lagi aku malu dengan abu-abu.
Rumit untuk bersamamu, apakah aku mampu? Aku belum tahu.

Aku ingat malam bersamamu. Malam dua puluh satu.
Dua puluh satu kupu-kupu terbang dijantungku. Dua puluh satu pesonamu meracuniku. Penuh sesak tapi yang kurasakan hanya satu, kamu. Kakiku mulai berani melangkah mengikutimu. Kamu pun juga begitu, tak mengenal lelah mengantarkanku.
Sulit untuk bersamamu, apakah aku mampu? Itu yang ingin kutanyakan padamu.

Aku ingat malam bersamamu. Malam dua puluh satu abu-abu.
Malam dimana aku semakin menaruh harap akanmu. Aku sendu? Memang begitu. Karena kamu.
Aku ingat malam bersamamu. Malam dua puluh satu abu-abu.
Aku ingat pada setiap detail bersamamu, meski kamu tidak tahu. Aku tidak peduli dengan hal itu, yang jelas aku bahagia ada kamu didekatku.
Aku ingat pada setiap detail bersamamu, meski otakku terbelenggu. Aku tidak peduli dengan hal itu, yang jelas aku menikmati bibir kita bertemu.

Dan kini aku masih melihat kamu dengan abu-abu. Masih sama dengan malam itu, masih saja mempesonaku. Masih mampu membuat detak jantungku menjadi rancu.
Dan kini aku semakin mengecap abu-abu. Mengingat rasa beberapa malam yang lalu. Rasa rindu yang menggebu-gebu.

Sejak bersamamu, aku suka dengan abu-abu..

Friday, March 18, 2011

Traumatic

Aku bertanya dalam hati. Mencoba menebak dan mengira-ngira tapi aku gagal. Aku tidak berhenti dan putus asa, aku ingin mencari banyak hal yang lebih. Hanya sekedar ingin mengenalmu lebih dekat, lebih dalam. Aku belum berhasil untuk membuat suatu kesimpulan. Teman, teman dekat, sahabat. Masih saja seperti itu. Masih saja belum bisa menjadi lebih dekat, lebih dalam. Belum! Aku belum putus asa. Aku masih saja meracau dan mengigau berharap sesuatu yang baru, yang menjadi sebuah isi dari asa.
Kucari cara untuk mampu baca pikiranmu, semuanya.
Dan kini aku tahu semua. Satu kata, trauma.
Sesalkan masa lalu yang ada. Berbalut luka kamu mampu untuk mundur dan mengalah. Masih terluka, aku tahu batinmu berdarah.
Akupun juga tahu kamu belum menemukan obatnya.
Aku tarik nafas panjang, ternyata aku juga sedikit terluka. Sadari karena hanya waktu yang mampu hapus meskipun ribuan hari kau telah berusaha bertahan namun masih tertahan.
Tertahan, terhalang oleh tembok besar yang kau bangun sendiri dari sisa puing perasaan. Yang semakin menguat dengan penyesalan. Telah menjadi waktu yang terbuang sia-sia saat kau bangun batas itu, sangat disayangkan.
Menunggu, kamu mampu hancurkan sendiri batas itu. Aku akan membantu jika kamu mau. Tapi aku tidak mau mengganggu. Aku tau batas privasimu.
Aku benci, ketika aku terbangun aku ingat tentang masa lalu. Bukan masa laluku. Tapi punyamu. Ikut menyesal dengan apa yang kau sesalkan.
Pernah aku berjanji sendiri agar tak terulang lagi.
Tapi hanya kamu yang sanggup membantuku wujudkannya. Apa salahnya kita saling membantu. Mungkin kamu juga bisa membantu kerja otak dan jantungku menjadi sehat kembali?
Sungguh aku tidak ingin peduli dengan traumamu. Namun sayang aku menjadi orang terdekat dengan trauma itu.
Sial, aku menulis ini, dan aku sadari jantungku berdegup cepat lagi..

Monday, March 07, 2011

Messing Hair. Mine and Yours

Cerita tentang suatu malam panjang. Malam riang. Malam senang. Malam tanpa hati gersang.

Hari itu, pagi itu.
Kubuka mataku dan menimba harap. Kubuka hatiku agar tidak menjadi pengap.
Hingga tengah hari aku masih berharap. Tidak ada. Kamu tidak ada. Jantungku semakin memompa darahku dan katakan "Ayo, kamu mampu!". Langkah gontai berawal dari waktu itu, kurasakan perasaanku semakin menderu. Membiru haru teriakkan namamu, lukiskan mata itu. Masih tercetak mulus diingatanku tentang kamu. Tentang hangat jemarimu menggenggam malu tanganku yang memanas. Iya, aku panas. Rasakan darahku yang tak mampu mengedarkan ke seluruh penjuru. Lagi-lagi kuingat hal itu. Lagi-lagi aku kalah akanmu. Aku kalah, aku tak sanggup menahan ingat nafasmu berderu.

Hari itu, sore itu.
Kubuka ponselku. Gerakkan jariku. Tentang kamu. Aku mau.
Kabar iya dari sahabatku. Kabar iya tentang malam nanti akan bersamamu. Aku mau.
Tersenyum, tertawa, tunjukkan deretan gigiku tanpa malu. Mungkin teman-temanku menganggap aku sudah sedikit dungu. Kubiarkan saja, daripada nanti aku bergeming dan menangis pilu. Kubiarkan saja, yang penting malam ini aku bertemu. Kubiarkan saja, agar aku bisa berlatih tidak kaku didepanmu.

Hari itu, malam itu.
Akhirnya datang waktu itu. Momen yang sangat aku dambakan semenjak beberapa hari yang lalu. Momen yang menjadi berbeda atas hadirmu. Momen istimewa, aku dan kamu. Ada mereka, namun aku hanya berseru "Ini malamku."
Berteman angin, berkawan mendung, bersahabat dengan hujan. Seakan tak izinkan aku merasakan. Halo angin, mendung dan hujan! Kalian pikir kalian mampu mengujiku dan biarkan hatiku ikut berawan? Ternyata tidak, justru kalian sangat berperan. Buatnya sungkan dan aku sangat berkenan.

Hari itu, malam itu.
Aku semakin rasakan jantungku tidak bekerja dengan normal namun sungguh aku tidak peduli. Persinggahanku seakan mengertiku dan tak izinkanku tinggal. Biarkanku berbalut dekat denganmu. Refleksi beberapa malam yang lalu, masih sama. Kamu masih mampu buat jantungku tidak bekerja dengan baik. Berantakan. Iya, aku deg-degan. Bau tubuhmu tak membiarkan diriku untuk meninggalkannya. Aku tak mampu istirahatkannya. Hanya berpura-pura.

Hari lain, pagi baru.
Aku jatuh cinta..

Sunday, March 06, 2011

Malioboro (Me Version)

Malioboro.
Ketika harap dengan sempurna telah meresap. Tentang asa, tentang harap akanmu.
Aku malu, aku kaku, aku kikuk. Malioboro hanya tersenyum lucu. Tertawakanku akan tingkah konyolku.
Malam itu, malam malioboro. Diiringi pemusik jalanan nyanyikan lagu sendu. Menyindir melihatku bermata sayu. Malu-malu.
Kukibas rambutku, kuikat dia. Mungkin mampu menarik hatimu?
Kugerakkan lidahku, sampaikan hal-hal lucu. Mungkin buatmu tersipu?
Kubuang nafasku, menghela tawa. Mungkin kamu akan ikut tertawa bersamaku?

Malioboro.
Bukan malioboro biasanya. Mengapa? Karena kamu ada.
Bukan malioboro biasanya. Mengapa? Karena aku tertawa, kamu ada.
Bukan malioboro biasanya. Mengapa? Karena aku mau kamu ada.

Malioboro malam pertama.
Bukan malam panjang yang dilewati sepasang suami istri seusai mengucap ikrar sakral.
Tapi malam pertama saat kurasa jantungku menjadi sangat hiperaktif dan nakal. Mendobrak dada, hampirimu dan memaksa untuk lebih mengenal.
Dekat, sangat dekat, tanpa sekat.

Malioboro.
Pagi, siang, sore, ataupun malam tak pernah kekurangan pelanggan. Pelanggan yang membeli persabatan, pelanggan yang menjalin kekeluargaan, pelanggan saksi kebrutalan, pelanggan yang mencicil rasa kagum dan menabungnya hingga sanggup menyentuh perasaan
Banyak pelanggan! Tapi yang kurasa hanya satu kepastian, tentang kamu yang mampu buat hatiku melumer perlahan.

Malioboro.
Saksi abadi tentang cerita curi-curi pandang dan deg-degan.
Saksi aku dan kamu. Mencuri harap agar tidak pernah terlambat tercipta kata "kita". Mencuri harap agar nantinya tidak menjadi berasap. Mencuri harap semoga rasaku tak lagi menguap. Aku siap! Aku siap menentukan sikap. Akan angan yang selama ini menjadi tabu, namun aku mau. Melepas tawa mengikat rasa saat keempat kaki kita berderap tegap.

Malioboro. Malioboro. Malioboro.
Malam ini kamu sendiri. Kehilangan sebuah hati yang bernafas harap. Sesak.
Sesak hingga beriak. Beriak harap. Beriak rindu. Beriak angan olehmu.
Angan dengan bodohnya inginkanmu tanpa jemu. Aku mau, aku mau, aku mau.
KAMU.

Malioboro (Adinda Version)

Malioboro.
Aku bertemu dengannya disini, pertama kali, di Malioboro.
Tak banyak yang terjadi. Hanya sejumput senyum yang mengambang tanda segan.
Aku bertemu dengannya disini, pertama kali, di Malioboro.
Tak banyak yang terjadi. Hanya persamaan rasa atas karya hasil waktu. Aku menarik, dia menyambut. Aku melepas, dia merajuk.

Malioboro.
Aku bertemu dengannya disini, pertama kali, di Malioboro.
Banyak yang sanggup diingat. Dimensi waktu mampu mengukirkan memori indah pengisi harap. Aku bertemu dengannya, pertama kali, di Malioboro.
Banyak yang sanggup diingat. Tajuk rindu yang mulai menghinggapi saat pikiran menghantarkan perasaan ingin ulangi lagi.

Malioboro.
Aku bertemu dengannya disini, pertama kali, di Malioboro.
Aku menabung harap. Harap yang memaksa diri melakukan gerak, yang ketika kuikuti nyatanya tertuju padamu.
Aku menabung harap. Harap yang mengairi hati dengan ingatan tentang kamu. Hanya kamu. Tanpa banyak tanya.

Malioboro.
Aku bertemu dengannya disini, pertama kali, untuk kesekian kali, di Malioboro.
Sudah lebih dari sekali. Namun masih seperti pertama kali.
Aku bertemu dengannya disini, pertama kali, untuk kesekian kali.
Meski tak banyak yang terjadi, ada banyak yang sanggup diingat saat aku menabung harap untuk bertemu lagi, disini, pertama kali, yang untuk kesekian kali, di Malioboro.


60311
adinda, untuk kamu yang menabung harap, bertemu dengannya lagi, pertama kali, untuk kesekian kali. :)

Wednesday, March 02, 2011

GASPN

Proses perjalanan hidup. Menangis, bahagia, menangis, dan berakhir diam bersatu dengan alam.
Proses perjalanan hidup. Pertemuan, perkenalan, pertemanan, persahabatan, pertemanan, dan berakhir dengan dua opsi bercinta atau tetap menjadi kawan.
Kuresapi setiap perjalanan hidupku meski belum mencapai akhir, jangan dulu. Aku masih menikmatinya.
Bertemu denganmu. Apakah suatu proses dalam perjalanan panjangku?
Sebentar, aku akan melupakan sejenak tentang kata cinta. Aku hanya akan menggunakan egoku untuk kali ini, ego dan perasaan yang selama ini banyak orang sembunyikan demi mendapatkan suatu gengsi.
Aku pernah merasakan hal serupa sebelum aku bertemu denganmu, dengan sesosok pria mengagumkan dengan balutan pesona disetiap derap langkah kaki jenjangnya.
Sesosok pria yang memperlakukanku dengan sangat baik, teramat sangat. Korbankan nafas dan keringatnya hanya untuk sejenak biarkan sudut bibirku mendekat ke tulang pipi.
Menangis, itu hal terakhir yang aku lakukan untuk mengenangnya saat itu, saat semua sudah tak lagi bisa kuulang dengan waktu. Sudah berupaya aku untuk menemukan sosok yang mampu mengganti, namun berakhir nihil.
Aku tau, semua hanya masalah waktu, aku tau semua hanya masalah egoku. Apakah aku masih mampu menurunkan egoku untuk sekedar membiarkan hati bicara atau tetap biarkan egoku semakin mengeras. Tutup hatiku untuk sekedar belaian hangat di rambutku.
Aku tidak pernah tahu apakah aku mulai bisa membuka mata saat aku bersamamu, yang jelas lagi-lagi aku menikmatinya. Waktu yang menyenangkan. Saat aku bisa katakan jangan kena air hujan. Saat mataku hanya berbisik melontarkan. Saat telingaku senang untuk mendengarkan. Saat jangtungku melompat girang ketika kau balas cubitan. Saat bahuku kau jadikan sandaran.
Aku berusaha melawan segala perasaan karena mungkin itu hanya sekedar kekaguman. Takut terjatuh lebih dalam dan aku tidak bisa kembali selamat.
Berbayang semu kuingat waktuku denganmu. Singkat namun banyak hal kudapat.
Kuingat saat tanganmu menjabat, menggandeng, memeluk erat.
Kuingat saat bahumu mendekat.
Kuingat saat matamu memandang manja buatku rasa terikat.
Mobilku membisu seakan tak mau mengganggu saat kita dekat.
Pekat.
Hatiku pekat saat kamu teringat.
Jantungku melompat tak mau beristirahat.
Otakku ingatkan dirimu tak lelah akan penat.
Tubuhku rasa lelah tapi tetap kurasa sehat.
Aku, kamu.
Aku mau lagi..