Entah bodoh atau entah memang sudah seharusnya begini.
Bersungut rendah sembunyikan raut wajah memelas.
Angkat dagu dan tertawa.
Hahaha, bukan aku jika tidak mengenalmu.
Dengungkanlah lantunan syukur.
Begitupun juga bagaimana caraku belajar.
Mengerti hal-hal yang tidak biasa kupahami.
Memaklumi sikap meskipun sebelumnya belum pernah seperti ini.
Lihat mataku, dalam-dalam, tolong..
Aku tahu, egomu memucuk disudut mata.
Aku mengintimidasi, bukan.
Aku menaruh dengki, bukan.
Aku mencurigai, bukan.
Aku cukup cerdas untuk mampu memiliki persepsi.
Mengenalmu bukan hanya satu atau dua hari.
Kalungilah ikatan syukur.
Begitupun juga bagaimana caraku mendekat.
Beberapa hal yang mungkin sedikit berbahaya.
Seruan-seruan parau yang sungguh tak ingin kudengar.
Tapi sayang, aku tidak pengecut untuk memilih kata nekat.
Sentuh dadaku, rasakan, tolong..
Degupan jantung siap memecah dada sebelah kiri.
Dan akhirnya hujan mampu menghapus segala isi.
Aku yang dekat denganmu yang dekat dengan sajak satire merindu.
Sungutku semakin merendah seiring juga konsentrasiku yang sudah kamu pecah.
Memanaslah sudah tubuhku dibalik didihan darah.
Berbisiklah, pelan saja.
Aku takut ada yang mendengar.
Kerahkan saja, jangan meragu.
Yakinlah suaraku tidak akan mengganggu.
Hentakkan, seiring alunan lagu.
Akan aku ikuti pola permainanmu.
Ikat saja, kalau memang itu keinginanmu.
Tapi jangan salahkan aku kalau kamu kalah lebih dulu.
Peluhku sudah banyak menetes dari dahi, telinga, leher, dagu dan jatuh ke bahu.
Pastikan sudah cukup peluhku beradu dengan milikmu.
Sudahkan kamu selesaikan pekerjaanmu?
Jika sudah, beritahu aku.
Sebelum aku jemu..
No comments:
Post a Comment