Yogyakarta, 29 September 2013.
Saat itu.
Selamat malam,
Aku tahu kalau kamu tahu bahwa aku bosan.
Aku tahu kalau kamu juga bosan.
Terkungkung ruang pengap 5x5 dan melakukan hal yang itu-itu saja.
Kuputuskan saja untuk keluar, hirup udara lembab malam yang segar.
Namun sebelumnya aku menggerutu gusar.
Aku takut kamu menolak keluar dari hidup yang hambar.
Tapi aku sudah sediakan payung sebelum hujan.
Aku sudah sediakan teman baru untuk bertukar pikiran.
Benar. Berhasil.
Malam tiga puluh September.
Aku, kamu, dan teman barumu.
Bercerita bahagia, bercanda manja.
Kursi dan meja kayu hangatkan dingin kepala.
Juga beberapa bebakaran yang mengisi rongga.
Tidak lama.
Tertawanya tidak lama, teman barumu punya acara.
Tinggal kita berdua.
Habiskan malam yang sudah tanggung untuk ditinggalkan merana.
Satu lagi, cerita-cerita layaknya kita sudah dewasa.
Sadarkan diri bahwa kita sudah cukup lama berkembang bersama.
Banyak hal yang berbeda.
Aku, kamu, sudah tak lagi sama.
Mengubur dosa lama dan menanam bibit baru bersahaja.
Aku suka.
Sekali lagi aku sadar bahwa kita memang benar-benar masih bersama.
Satu cita-cita yang sama dari dua kepala yang sama kerasnya.
Cerita, bahagia, nostalgia.
Nostalgia? Iya.
Hatiku masih menyimpan amarah salah.
Tidak memaafkan ketika selalu dimaafkan.
Semua bisikan bergejolak marah.
Sudah seharusnya aku marah.
Sudah seharusnya aku menjadikannya remah-remah.
Bertarung dengan diriku sendiri.
Diam, sunyi.
Melirikku berhati-hati.
Mungkin takut akan semakin menyakiti.
Aku merasa tidak bersalah masih menyimpan amarah.
Tapi kamu menganggapku salah saat masih ada didihan darah.
Semakin salah.
Semakin marah.
Tangisku pecah.
Kamu lelah.
Aku pasrah.
Sayang,
Mungkin kamu lupa tersadar.
Atau mungkin kamu lupa bersabar.
Atau mungkin memang aku yang kurang ajar.
Atau memang aku yang tidak pernah belajar.
Sayang,
Aku selalu bilang bahwa kamu seperti rumah. Tempat kembali saat tulang-tulang ini mengeluh lelah. Tapi aku selalu lupa bahwa kamu berkah. Dan kamu selalu lupa selalu ada hikmah. Ego-ego yang sudah lama tidak diasah. Membuat kita tidak lagi ingat akan ramah tamah.
Sayang,
Ketika selesai sudah kutulis suratku, aku tidak akan berjanji bahwa tangisku tidak akan pecah. Mungkin saja emosi-emosiku masih bertingkah. Kutata hatiku sudah. Meskipun terkadang masih seperti bedebah.
Mungkin, karena aku masih menyimpan remah-remah marah.
Dan aku belum juga menemukan tempat sampah.
Untuk yang tercinta,
Feisal Lofinanda.
Teman, Sahabat, Kekasih, Pendamping, Kakak, Adik, dan Ayah.
Kamu masih menjadi Rumah.
No comments:
Post a Comment