Asap-asap mulai menipis seiring dengan rambutku yang juga mulai menipis.
Habiskan sedikit sisa uang sakuku untuk merawat tubuhku yang sudah kembang kempis.
Bermodal rasa iri akan molek cantik para artis.
Berasap sudah isi kepalaku, pekat, gelap, seperti asap kenalpot bis.
Virus menggorogoti hati ini mana bisa sudah kutepis?
Habis.
Satu waktu, dimana sakit aku, perih dan sendu tak bisa bertangis.
Menarik kedua sudut bibir, bukan, bukan tersenyum, tapi meringis.
Tidak lagi pedulikan gigi-gigi berantakan tak terawat dan gigis.
Tertawakan hidup, bukan hanya tak lagi adil, namun sudah bengis.
Lembaran alat tukar yang sudah tak cukup, tak mampu membawaku pulang karena tak punya karcis.
Satu persatu lapisan hati sudah habis, terkikis.
Gegap mata, kaku tanganku, tam bisa sudah untuk melukis.
Meskipun sudah banyak kutenggak teh hangat juga kopi panas bersama dengan pukis manis.
Gelap sudah, rabun mataku, tak mampu mendukungku untuk bisa menulis.
Diam, diam, diam, dan diam membuatku mungkin sebentar lagi berkumis.
Diam, diam, diam, dan diam sembari menyisir rambut kusutku hingga klimis.
Diam, diam, diam, dan diam. Masam, manis hidup. Layaknya kismis.
Satu masa, dimana aku sudah tak mampu lagi berlaku etis.
Satu lagi, dimana sajak-sajak lamaku berantakan, sudah tak mau lagi berbaris.
Berjalan, bertahan. Iya, meskipun teriris.
Berjalan, bertahan. Iya, aku tahu mengeras sudah betis.
Berjalan, bertahan. Iya, aku tahu meskipun kuatku tak lagi berlapis.
Aku mau, seperti yang dulu. Bukan, bukan masalah itu. Kamu tahu? Membosankan menjadi diriku. Bertuan tapi berbatu. Himbauan alam berderu. Aku tak mau tahu.
Berlutut, semoga bertahan. Paling tidak sampai hari kamis. Sampai mataku bisa menangis.
No comments:
Post a Comment