Aku bertanya dalam hati. Mencoba menebak dan mengira-ngira tapi aku gagal. Aku tidak berhenti dan putus asa, aku ingin mencari banyak hal yang lebih. Hanya sekedar ingin mengenalmu lebih dekat, lebih dalam. Aku belum berhasil untuk membuat suatu kesimpulan. Teman, teman dekat, sahabat. Masih saja seperti itu. Masih saja belum bisa menjadi lebih dekat, lebih dalam. Belum! Aku belum putus asa. Aku masih saja meracau dan mengigau berharap sesuatu yang baru, yang menjadi sebuah isi dari asa.
Kucari cara untuk mampu baca pikiranmu, semuanya.
Dan kini aku tahu semua. Satu kata, trauma.
Sesalkan masa lalu yang ada. Berbalut luka kamu mampu untuk mundur dan mengalah. Masih terluka, aku tahu batinmu berdarah.
Akupun juga tahu kamu belum menemukan obatnya.
Aku tarik nafas panjang, ternyata aku juga sedikit terluka. Sadari karena hanya waktu yang mampu hapus meskipun ribuan hari kau telah berusaha bertahan namun masih tertahan.
Tertahan, terhalang oleh tembok besar yang kau bangun sendiri dari sisa puing perasaan. Yang semakin menguat dengan penyesalan. Telah menjadi waktu yang terbuang sia-sia saat kau bangun batas itu, sangat disayangkan.
Menunggu, kamu mampu hancurkan sendiri batas itu. Aku akan membantu jika kamu mau. Tapi aku tidak mau mengganggu. Aku tau batas privasimu.
Aku benci, ketika aku terbangun aku ingat tentang masa lalu. Bukan masa laluku. Tapi punyamu. Ikut menyesal dengan apa yang kau sesalkan.
Pernah aku berjanji sendiri agar tak terulang lagi.
Tapi hanya kamu yang sanggup membantuku wujudkannya. Apa salahnya kita saling membantu. Mungkin kamu juga bisa membantu kerja otak dan jantungku menjadi sehat kembali?
Sungguh aku tidak ingin peduli dengan traumamu. Namun sayang aku menjadi orang terdekat dengan trauma itu.
Sial, aku menulis ini, dan aku sadari jantungku berdegup cepat lagi..
No comments:
Post a Comment