Perempuan berkerudung abu-abu itu, aku mengenal dia.
Dia pendiam, manis, halus bertutur kata.
Dia tidak punya banyak kawan.
Hidupnya pun pas-pasan.
Hampir tidak ada satupun yang mampu ia banggakan.
Perempuan bergaun malam hitam itu, aku mengenal dia.
Dia cerewet, ceria, dan suka tertawa.
Dia punya ratusan teman.
Uangnya cukup untuk membeli berlian.
Hampir semua yang dia miliki menjadi angan.
Perempuan berkerudung abu-abu itu, aku sering melihatnya.
Dia membawa buku catatan kuliahnya kemana-mana.
Dia hanya berkendara roda dua.
Dibawanya selalu air mineral kesukaan.
Gugup, malu dan kaku saat disapa kawan.
Perempuan bergaun malam hitam itu, aku sering melihatnya.
Dia selalu membawa undangan di klub malam untuk sebuah pesta.
Kendaraan roda empat yang menjadi teman dijalannya.
Dibawanya selalu bir dingin favoritnya.
Dimanapun dia berada, selalu saja ada kawan yang menyapanya bahagia.
Perempuan berkerudung abu-abu itu, aku teman dekatnya.
Dia sakit dan rapuh terlihat dari matanya.
Terlihat lusuh dibalut pakaian sederhana.
Sepatu yang dipakainya itu-itu saja.
Sepatu datar murahan yang ia beli dipinggir jalan.
Perempuan bergaun malam hitam itu, aku teman dekatnya.
Dia selalu bersemangat melewati hari-hari penuh canda tawa.
Terlihat menawan dibalik pakaiannya.
Sepatu yang dipakainya pasti membuat ngilu kakinya.
Sepatu tinggi yang cukup mencekat dikantong mahasiswa.
Mereka berbeda.
Sangat jauh bertolak belakang.
Tapi aku mengetahui mereka.
Aku mengenal keduanya.
Aku bersahabat dengannya.
Setiap hari aku bersamanya.
Pagi, siang, sore ataupun malam, aku bersama mereka.
Sahabat terbaik yang aku punya.
Pendengar yang pandai ketika aku mengeluh apa saja.
Menghapus air mata ketika aku terluka.
Memeluk erat ketika aku bahagia dan tertawa.
Mereka berbeda.
Sangat jauh bertolak belakang.
Tapi aku mengetahui mereka.
Aku mengenal keduanya.
Aku bersahabat dengannya.
Setiap hari aku bersamanya.
Ketika aku bercermin dalam dua sisi kaca..
No comments:
Post a Comment